putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Toxic

judi

Tips Menghadapi Keluarga dan Ortu Toxic

Tips Menghadapi Keluarga dan Ortu Toxic
Tips Menghadapi Keluarga dan Ortu Toxic

Halo, Perseners! Pernah denger istilah ‘keluarga toxic’? Di era yang serba terbuka ini, kita sering banget denger istilah ini. Tapi, apa sih sebenarnya keluarga toxic itu?

Keluarga toxic bisa didefinisikan sebagai keluarga yang hubungannya penuh dengan kritik yang menyakitkan, dan kurangnya empati.

Keluarga toxic itu juga ibarat racun yang perlahan merusak. Mereka mungkin terlihat baik-baik saja dari luar, tapi di dalamnya penuh dengan manipulasI. Ini bukan cuma tentang orang tua yang toxic, tapi juga bisa melibatkan saudara atau anggota keluarga lainnya.

Dalam keluarga seperti ini, sering kali kita temukan kritik yang tajam dan menyakitkan, penggunaan diam sebagai bentuk hukuman, kebohongan, dan penyangkalan. Bahkan, dalam beberapa kasus, bisa terjadi manipulasi emosional dan fisik. Ini semua bukan cuma merusak hubungan keluarga, tapi juga berdampak besar pada kesehatan mental kita.

Mungkin di antara lo semua, pasti ada yang pernah merasakan atau bahkan hidup dalam lingkungan keluarga yang toxic. Ini bukan hal yang mudah. Kadang, kita merasa terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, penting banget untuk kita sadari bahwa kita tidak sendirian dan ada cara untuk menghadapi situasi ini.

Kita sering melihat potret keluarga yang sempurna, tapi jarang yang membahas sisi gelapnya. Padahal, di balik senyum di foto-foto itu, bisa jadi ada cerita yang nggak pernah terungkap.

Mengapa kita harus peduli? Karena keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Keluarga yang sehat akan menciptakan masyarakat yang sehat. Sebaliknya, keluarga yang toxic bisa berdampak luas, tidak hanya bagi anggotanya tapi juga lingkungan sekitar.

Bagaimana Keluarga Toxic Berpengaruh pada Kesehatan Mental?

Perseners, apa sih dampak keluarga yang toxic pada kesehatan mental kita?

Ini penting banget, karena sering kali kita nggak sadar bahwa lingkungan keluarga yang toxic bisa berdampak besar pada kehidupan kita, terutama kesehatan mental.

Ada beberapa cara keluarga toxic bisa mempengaruhi kesehatan mental kita:

  1. Keluarga toxic sering kali membuat kita merasa tidak aman dan tidak dihargai. Ini bisa menimbulkan rasa cemas dan depresi. Kritik yang tajam dan konstan, misalnya, bisa membuat kita merasa tidak cukup baik dan selalu berada di bawah tekanan.
  2. Keluarga yang sering menggunakan diam sebagai hukuman atau manipulasi bisa membuat kita merasa terisolasi dan kesepian. Ini bukan cuma tentang tidak bicara, tapi juga tentang kurangnya dukungan emosional. Kita jadi merasa sendirian dalam menghadapi masalah.
  3. Kebohongan dan penyangkalan dalam keluarga toxic bisa membuat kita bingung dan meragukan diri sendiri. Ini sering disebut sebagai gaslighting, di mana kita dibuat meragukan realitas kita sendiri. Hal ini sangat berbahaya karena bisa merusak kepercayaan diri kita dan cara kita melihat dunia.
  4. Keluarga toxic sering kali membuat kita merasa bersalah dan malu atas perasaan kita sendiri. Ini bisa terjadi ketika kita mencoba berbicara tentang perasaan kita, tapi malah dianggap sebagai orang yang berlebihan atau sensitif. Ini membuat kita sulit untuk mengungkapkan perasaan dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
  5. Keluarga toxic sering kali memainkan permainan psikologis yang membuat kita merasa terjebak dan tidak berdaya. Ini bisa berupa manipulasi, ancaman, atau bahkan kekerasan fisik dan emosional. Semua ini bisa meninggalkan luka yang dalam dan sulit untuk disembuhkan.

Dampak keluarga toxic pada kesehatan mental kita ini serius banget. Tapi, penting untuk diingat bahwa kita tidak sendirian dan ada cara untuk menghadapi dan menyembuhkan diri dari pengaruh ini.

Apa Tantangan dalam Menghadapi Keluarga yang Toxic?

Menghadapi keluarga yang toxic bukanlah hal yang mudah. Ada banyak rintangan yang mungkin kita temui, dan mengenalinya adalah langkah pertama untuk bisa mengatasinya.

  1. Salah satu tantangan terbesar adalah mengakui bahwa kita berada dalam lingkungan keluarga yang toxic. Sering kali, kita tumbuh dengan memandang keluarga kita sebagai norma, sehingga sulit untuk menyadari bahwa apa yang kita alami tidak sehat. Mengakui bahwa ada masalah dalam keluarga adalah langkah pertama yang penting, tapi sering kali sulit dilakukan.
  2. Setelah kita menyadari adanya toxicitas, tantangan selanjutnya adalah bagaimana menghadapinya. Ini bisa sangat sulit, terutama jika kita masih bergantung secara finansial atau emosional pada keluarga kita. Rasa takut akan konsekuensi dari menghadapi mereka atau rasa bersalah karena ‘melawan’ keluarga bisa menjadi penghalang besar.
  3. Sering kali ada tekanan sosial dan budaya yang membuat kita merasa harus tetap menjaga hubungan dengan keluarga, meskipun itu beracun. Dalam banyak masyarakat, ada stigma besar terkait dengan ‘memutuskan hubungan’ dengan keluarga, yang membuat situasi ini semakin sulit.
  4. Tantangan lain adalah menghadapi gaslighting dan manipulasi. Keluarga yang toxic sering menggunakan taktik ini untuk membuat kita meragukan diri sendiri dan realitas yang kita alami. Ini bisa membuat kita merasa bingung dan tidak yakin tentang langkah apa yang harus diambil.
  5. Menghadapi dampak emosional jangka panjang dari keluarga toxic juga merupakan tantangan besar. Banyak dari kita yang tumbuh dalam keluarga seperti ini sering mengalami masalah kepercayaan, masalah dalam membangun hubungan yang sehat, dan masalah kesehatan mental lainnya.

Bagaimana sih Cara Menghadapi Keluarga yang Toxic?

Perseners, mengetahui cara untuk menghadapi keluarga yang toxic penting banget, karena dengan strategi yang tepat, kita bisa melindungi diri dan kesehatan mental kita. Ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk menghadapi keluarga yang toxic.

  1. Membangun kesadaran diri. Ini berarti mengenali dan menerima perasaan kita sendiri. Sadarilah bahwa perasaan kita valid dan penting, dan kita berhak untuk merasa aman dan dihargai.
  2. Menetapkan batasan. Ini bisa berarti secara fisik menjauh dari anggota keluarga yang toxic atau membatasi interaksi dengan mereka. Menetapkan batasan ini penting untuk melindungi diri kita dari dampak negatif hubungan tersebut.
  3. Mencari dukungan. Ini bisa berupa terapi, bergabung dengan grup dukungan, atau berbicara dengan teman yang dipercaya. Berbicara tentang pengalaman kita dengan orang lain yang mengerti bisa sangat membantu dalam proses penyembuhan.
  4. Belajar untuk merespons daripada bereaksi. Ini berarti mengambil waktu untuk berpikir dan merespons dengan cara yang sehat, daripada bereaksi secara emosional yang mungkin memperburuk situasi.
  5. Fokus pada diri sendiri. Ini berarti menghabiskan waktu untuk merawat diri sendiri, baik secara fisik maupun emosional. Lakukan aktivitas yang membuat kita merasa baik dan yang mendukung kesehatan mental kita.

Menghadapi keluarga yang toxic memang tidak mudah, tapi ingat bahwa kita memiliki kekuatan untuk melindungi diri kita dan memulai proses penyembuhan.

Kesimpulan

Perseners, kita sudah melalui pembahasan yang panjang dan mendalam tentang keluarga yang toxic. Mulai dari memahami apa itu keluarga toxic, dampaknya pada kesehatan mental, tantangan yang dihadapi, hingga strategi menghadapinya.

Dari tanda-tanda keluarga yang toksik, kita dapat memahami bahwa dinamika keluarga yang tidak sehat dapat berdampak besar pada kehidupan kita. Tanda keluarga toksik, seperti kritik yang menyakitkan, perlakuan diam sebagai bentuk manipulasi, kebohongan, penyangkalan, dapat mempengaruhi kesehatan mental kita. Menghadapi situasi seperti ini bisa sangat menantang dan sering kali memerlukan dukungan eksternal untuk mengatasinya.

Ketika kita menghadapi situasi keluarga yang toksik, penting untuk mengakui bahwa lo mungkin memerlukan bantuan profesional untuk mengelola emosi dan situasi yang sulit ini. Konseling dapat memberikan ruang aman bagi lo untuk mengekspresikan perasaan dan mendapatkan perspektif yang lebih sehat tentang hubungan keluarga.

Dengan konseling, bisa bantu kita memahami dan mengatasi masalah yang kita hadapi, termasuk masalah yang berkaitan dengan keluarga toxic dan kita bisa mendapatkan perspektif baru, strategi yang efektif, dan dukungan emosional yang kita butuhkan.

Yuk, klik di sini untuk mendaftar. Ingat bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan, tapi tanda keberanian dan langkah pertama menuju perubahan yang lebih baik. Jangan biarkan stigma atau rasa takut menghalangi kamu untuk mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan. Ingat juga bahwa lo gak  sendirian, dan selalu ada harapan dan bantuan yang tersedia. #HidupSeutuhnya.

Berikut rekomendasi judul dari blog yang sudah kita bahas:

  1. Mengatasi Keluarga Toksik: Langkah Menuju Kesehatan Mental
  2. Konseling Online: Solusi Hadapi Dinamika Keluarga Beracun
  3. Memutus Rantai Toxicity Keluarga dengan Bantuan Profesional

Referensi:

  1. Psycom.net. (2022). Are You in A Toxic Family? Signs & How to Cope. Retrieved from https://www.psycom.net/relationships/toxic-family
  2. Healthline. (2019). Toxic Family: 25 Signs and Tips. Retrieved from https://www.healthline.com/health/toxic-family
  3. Oprah Daily. (2021). 15 Signs of a Toxic Family Member, and What to Do About Them. Retrieved from https://www.oprahdaily.com/life/relationships-love/a29609819/signs-of-toxic-family/
  4. Imam, Q. (2022). What is Toxic Family Dynamics? Retrieved from https://www.linkedin.com/pulse/what-toxic-family-dynamics-quazi-imam-m-d
  5. MindBodyGreen. (2023). Toxic Family: 9 Signs Of A Toxic Relative + How To Deal. Retrieved from https://www.mindbodygreen.com/articles/toxic-families
  6. Regain. (2023). Toxic Family Dynamics: The Signs And How To Cope With Them. Retrieved from https://www.regain.us/advice/family/toxic-family-dynamics-the-signs-and-how-to-cope-with-them/
Read More
judi

Kenali Lingkungan Kerja Toxic yang Dapat Mengganggu Kesehatan Mentalmu

lingkungan kerja toxic
Satu Persen – Lingkunan Kerja Toxic

Stres di tempat kerja sebenarnya wajar-wajar aja, kok. Saat kamu merasa lelah dan butuh istirahat, ternyata target belum tercapai, dikejar deadline, harus kerja ekstra, client yang agak ‘rewel’, dan hal-hal lainnya yang terasa sedikit menjengkelkan bisa aja justru terjadi. Well, kalau nggak stres mungkin keberadaan kamu sebagai manusia harus dipertanyakan.

Kalau situasinya lebih buruk daripada itu, misalnya kamu sering diberikan kerjaan yang berlebih (yang tidak masuk akal), kurangnya tunjangan dan kompensasi, rekan kerja yang suka bergosip, kamu merasa tertekan, bahkan kamu sering menangis di tempat kerja, hal ini bukan stres biasa. Bisa jadi lingkungan kerjamu termasuk ke dalam lingkungan kerja yang tidak sehat atau sering dikenal sebagai toxic work environment atau lingkungan kerja toxic.

Toxic work environment adalah suatu kondisi lingkungan kerja di mana budaya perusahaan, rekan kerja, situasi kerja, dan kombinasi dari itu semua membuat seseorang merasa terganggu sehingga berpengaruh kepada kondisi kesehatan mental.

Gimana ciri-ciri lingkungan kerja toxic? Gimana caranya menyelamatkan diri dari lingkungan kerja yang tidak sehat? Kali ini, aku, Sista, Blog Writer dari Satu Persen akan berbagi informasi seputar lingkungan kerja yang toxic. Baca sampai habis untuk dapat keseluruhan insight-nya, ya~

Ciri- ciri Lingkungan Kerja Toxic

Setelah memahami sekilas bagaimana gambaran dari Toxic Work Environment, berikut adalah beberapa ciri-cirinya:

1. Lebih banyak kehidupan kerja daripada kehidupan pribadi

overworked meme - meme capek kerja
Source: Pinterest

Perseners, kamu sering membawa pekerjaan ke rumah? Atau kamu terbiasa membuka email di tengah malam? Lalu, mulai bekerja lagi keesokan paginya hingga larut malam. Begitu seterusnya.

Kalau kamu merasakan hal ini, bahkan di hari libur masih mengurusi pekerjaan, mungkin perusahaan kamu memiliki budaya perusahaan yang tidak sehat untuk para karyawan. Meskipun kamu termasuk orang yang senang bekerja keras, ketika pekerjaan sudah memotong waktu pribadi dan merusak kebahagiaanmu, mungkin ada suatu kesalahan di dalamnya, Perseners.

Baca juga: Waktu Habis buat Kerja? 5 Cara Menjaga Work-Life Balance

2. Kamu merasa tidak berkembang

Kalau kamu masih berada di posisi yang sama sejak lama, tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi, tidak adanya peningkatan skill, merasa tidak bersemangat, sepertinya kamu harus bergerak dari perusahaan itu, Perseners. Coba perhatikan rekan kerjamu, apakah tidak ada antusiasme dari mereka? Jika iya, mungkin saat ini kamu sedang berada di kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat.

3. Rekan kerja tidak profesional

Coba perhatikan kembali lingkungan di sekitarmu. Apakah rekan kerjamu tidak pernah menganggap serius pekerjaannya? Misalnya, selalu datang terlambat ketika rapat, tidak antusias dengan pekerjaannya, senang mengumbar gosip, dan selalu mengeluh. Idealnya, lingkungan kerja yang baik didukung oleh rekan kerja yang supportive, profesional, menyenangkan, dan bahagia untuk membuat hari-hari kerja kamu jauh lebih baik.

4. Bos yang kejam

boss meme - meme toxic boss
Source: boredpanda.com

Seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar, belum tentu memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih baik loh, Perseners. Jika atasan kamu sering menuntut untuk selalu setuju dengannya, sering memberi tahu bahwa ia benar, mengharapkan orang lain untuk menjadi sempurna, lebih parahnya lagi, mungkin atasan kamu pernah berkata, “Kamu seharusnya merasa beruntung dapat pekerjaan ini!”,  it’s a big no no.

Hanya karena atasanmu berada di posisi yang lebih tinggi, bukan berarti ia dapat berlaku seenaknya kepada karyawannya. Mungkin ini saatnya kamu mempertimbangkan kembali pengajuan resign untuk kehidupan kerja yang lebih baik.

Dampak Lingkungan Kerja Toxic pada Kesehatan Mental

work meme - meme kerja
http://me.me

Jika kamu merasakan ciri-ciri yang telah disebutkan tadi, kemungkinan besar kamu sedang berada di lingkungan kerja toxic. Apa sih dampaknya buat kesehatan mental? Nah, ini dia beberapa tanda-tanda yang akan ditimbulkan kalau kamu sedang berada di lingkungan kerja toxic:

1. Ketakutan

Kalau kamu sedang terjebak dalam lingkungan kerja yang toxic, kamu mungkin sering merasa khawatir untuk datang ke kantor. Kamu merasa cemas untuk menghadapi orang-orang di kantor yang mungkin saja memiliki sikap yang buruk terhadapmu.

2. Gelisah

Tanda-tanda lainnya yaitu sering merasa gelisah dan tidak nyaman dengan lingkungan di sekitar. Ibaratnya, mungkin kamu merasa sedang berjalan di atas jarum dan mencoba menghindari rintangan-rintangan berat di tempat kerja.

3. Putus Asa

Ketidaknyamanan terus-menerus dari tempat kerja yang toxic dapat menyebabkan rasa putus asa yang berkepanjangan loh, Perseners. Misalnya dapat dilihat dari kurangnya minat untuk berbagi ide baru, tidak tertarik dengan pekerjaan, atau tujuan departemen kamu.

4. Sakit

Lingkungan kerja toxic bisa menyebabkan karyawan sakit karena stres tingkat tinggi yang kemungkinan mempengaruhi kesehatan fisik. Dalam kasus yang lebih ekstrem, dapat menimbulkan masalah jantung, tekanan darah tinggi, kurang tidur atau kelelahan. Coba ikut tes tingkat stres yuk supaya kamu paham apakah kamu sedang stres atau tidak.

Baca juga: Kesehatan Mental Bisa Memengaruhi Kesehatan Fisik? Benar Gak Sih?

Cara Menyelamatkan Diri dari Lingkungan Kerja Toxic

toxic workplace meme - meme tempat kerja toxic
Source: memegenerator.net

Untuk membuat kehidupan kamu menjadi lebih baik, coba lakukan kiat-kiat berikut ini untuk menyelamatkan diri dari lingkungan kerja toxic!

1. Buat batasan untuk diri sendiri

Batasan yang dimaksud bisa dimulai dari hal-hal yang kecil, contohnya selalu mengambil waktu istirahat saat makan siang, tidak membawa pekerjaan ke rumah, luangkan waktu untuk menjalin pertemanan di luar pekerjaan, dan jangan membagikan terlalu banyak detail pribadi di tempat kerja.

2. Carilah teman yang merasakan hal yang sama

Cara lainnya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri dari lingkungan kerja yang toxic adalah dengan mencari teman yang merasakan hal yang sama seperti kamu. Temukan satu atau dua orang yang tepat untuk dapat menjadi teman curhat, sehingga kamu dan temanmu bisa saling memberikan dukungan satu sama lain.

3. Buat lingkungan yang positif

Kalau kamu merasa lingkungan kamu memberikan energi yang negatif, kamu bisa mulai untuk membuat lingkungan yang positif dari diri sendiri. Misalnya, menghindari gosip, tetap bersikap ramah pada orang lain, dan hal lainnya yang dapat memberikan energi positif. Kamu juga bisa nonton konten-konten dari Channel YouTube Satu Persen tentang pemahaman diri dan produktivitas. Mungkin beberapa video bisa membantu kamu untuk lebih kuat menghadapi situasi saat ini dan hidup seutuhnya.

4. Lakukan sesuatu yang kamu senangi setelah bekerja

Entah itu olahraga, memasak, menonton film, dan lain sebagainya yang dapat membantu kamu mengalihkan pikiran dari pekerjaan. Intinya adalah lakukan kegiatan yang membuat kamu bahagia, dan pastikan kamu menjalani kehidupan yang menyenangkan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.

Jadi, itu tadi merupakan cara-cara supaya kamu dapat menyelamatkan diri dari lingkungan kerja toxic. Para peneliti menemukan bahwa tempat kerja toxic berkaitan dengan peningkatan tingkat depresi dan kecemasan loh, Perseners. Kalau kamu sejauh ini masih merasa kesulitan dalam menghadapi lingkungan kerja yang toxic, kamu bisa ikuti program Mentoring dari Satu Persen dengan klik banner di bawah ini!

Mentoring-5

Meskipun tidak mudah mengubah budaya di tempat kerja, kamu bisa melakukan tips-tips yang sudah disebutkan tadi untuk membantumu melawan energi negatif di tempat kerja. Tentu membutuhkan waktu untuk dapat menerapkannya dengan baik, namun hal-hal sederhana tersebut dapat menoleransi kondisi kamu saat ini sampai kamu bisa mengatasinya ataupun keluar dari kondisi tersebut.

Referensi:

https://www.psychologytoday.com/us/blog/happiness-is-state-mind/201903/how-recognize-toxic-work-environment-and-get-out-alive

How a Toxic Workplace Can Impact your Mental Health

https://www.topresume.com/career-advice/how-to-handle-toxic-work-environment

Read More
judi

Toxic Masculinity di Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

toxic masculinity - seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas
Satu Persen – Toxic Masculinity di Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Editor’s Note: Artikel ini mengandung spoiler dari film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jadi, buat kamu yang anti spoiler dan belum nonton filmnya, kamu bisa coba nonton dulu aja filmnya, ya! Atau, bisa juga coba baca artikel-artikel lain dari Blog Satu Persen. Selamat membaca!:D


Halo, Perseners! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen

Belakangan ini ramai sekali diperbincangkan film berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Bagaimana tidak? Film besutan sutradara Edwin ini berhasil memenangkan Golden Leopard, penghargaan tertinggi Festival Film Locarno di Swiss. Istimewanya, film yang diadaptasi dari Novel Eka Kurniawan ini juga berani mengangkat isu-isu sensitif, salah satunya adalah toxic masculinity atau maskulinitas beracun.

Jadi, hari ini aku akan bahas mengenai toxic masculinity. Buat Perseners bisa baca artikel ini sampai sampai selesai supaya dapat pemahaman yang baik tentang toxic masculinity, ya!

Apa itu Toxic Masculinity?

toxic masculinity
9gag.com

Sebuah penelitian dari Journal of School of Psychology mendefinisikan toxic masculinity sebagai konstelasi sifat-sifat maskulin yang regresif secara sosial, mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan seksual. Singkatnya, toxic masculinity adalah nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh laki-laki untuk berperilaku atau bersikap sesuai dengan gendernya.

Contohnya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti laki-laki harus bersikap lebih dominan dari perempuan. Laki-laki harus menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya serta pantang mengekspresikan emosi supaya terlihat kuat.

Istilah toxic masculinity dipopulerkan oleh seorang psikolog Amerika Serikat bernama Shepherd Bliss pada tahun 1980-an. Shepherd memisahkan sifat positif dan negatif laki-laki kemudian membedakannya dengan istilah toxic masculinity. Sifat-sifat toxic yang Shepherd maksud adalah laki laki yang tidak bisa mengekspresikan emosi; merasa dominan secara fisik, intelektual, dan seksual; serta menurunkan harkat wanita (devaluasi wanita).

Toxic masculinity dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dapat direpresentasikan, salah satunya dari tokoh Ajo Kawir. Ia dikenal sebagai jagoan dari Bojongsoang yang tidak takut mati. Berkelahi? Katakan saja kapan dan di mana, Ajo Kawir akan siap untuk bertarung.

Dibalik ketangguhannya sebagai petarung andal, ternyata ia menyimpan suatu rahasia besar. Ia sebenarnya adalah seorang impoten. Keadaan itu membuat ia merasa frustasi dan gagal sebagai seorang laki-laki. Sehingga membuat Ajo Kawir kemudian menunjukkan identitas maskulinitasnya sebagai laki-laki yang kuat dan tak terkalahkan.

Ajo Kawir dalam film seakan menunjukkan bahwa laki-laki harus bersikap demikian agar mendapat rasa hormat. Tanpa disadari, pandangan ini malah melestarikan atau melanggengkan budaya patriarki, Perseners! Toxic masculinity dalam diri Ajo Kawir juga tidak sehat dan membatasi geraknya buat berekspresi.

Baca juga: Kesehatan Mental bagi Pria: Cowok Gak Boleh Nangis?

Bahaya Toxic Masculinity

toxic masculinity
memegenerator.com

Menurut Ronald F. Levant, psikolog dan mantan presiden American Psychological Association (APA), budaya untuk berperilaku maskulin dapat memberikan efek yang berbahaya. Perilaku tersebut berpotensi terhadap pergaulan bebas dan rendahnya tanggung jawab secara sosial. Toxic masculinity tidak hanya berbahaya bagi anak laki-laki, namun juga pada perempuan. Sifat laki-laki yang lebih dominan dan superior dapat merendahkan hak asasi perempuan dan menimbulkan pelecehan seksual.

Seperti yang udah aku jelasin di atas, toxic masculinity juga dapat membatasi definisi sifat laki-laki untuk mengekspresikan dirinya di dalam masyarakat. Pembatasan definisi tersebut dapat menimbulkan konflik di dalam dirinya dan lingkungan laki-laki tersebut.

Coba Juga: Tes Sehat Mental

Melalui film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, keadaan Ajo Kawir yang impoten jelas menjadi konflik berat baginya. Ajo Kawir terlihat sangat obsesi dengan kejantanannya hingga membuatnya putus asa. Bagaimana tidak? Taruhannya adalah soal keperkasaan.

Ada anggapan dari masyarakat bahwa kejantanan seorang laki-laki dinilai dari alat kelaminnya. Hal ini menjadi semacam kompetisi yang sensitif bagi lelaki, seperti saling membandingkan ukuran alat kelamin. Para laki-laki percaya bahwa alat kelamin yang besar dan panjang menunjukan kemahirannya di atas ranjang. Anggapan ini juga yang membuat Ajo Kawir tak punya nyali untuk mengatakan cinta kepada orang yang ditaksirnya.

Baca juga: Mengenal Apa itu Insecure dan Cara Efektif untuk Mengatasinya

Lantas, Bagaimana Cara Menanganinya?

menghentikan toxic masculinity
me.me

Berdasarkan pedoman American Psychological Association (APA), organisasi profesi yang merepresentasikan psikologi di Amerika Serikat, diketahui bahwa tekanan sosial terhadap laki-laki menjadi penyebab terjadinya maskulinitas beracun. Sebuah penelitian dari APA juga mengatakan bahwa menghilangkan pandangan dan ekspektasi budaya tentang laki-laki dapat menjadi cara untuk mengurangi toxic masculinity.

Lantas, bagaimana caranya?

1. Edukasi Diri Sendiri

Untuk menangani toxic masculinity, hal yang perlu Perseners lakukan adalah tidak mempersempit bagaimana laki-laki harus berperilaku atau bersikap. Berhenti untuk terlihat selalu kuat, tangguh, dan dominan dalam setiap hal. Coba untuk memperluas konsep baru tentang laki-laki agar tidak terkekang sama definisi kuno.

Kalian bisa belajar mengenai kesadaran emosi, seperti kebaikan, kelembutan, ketergantungan, dan menerima kelemahan diri apa adanya. Sehingga kalian sebagai laki-laki dapat menerima diri sendiri secara utuh.

2. Konseling

Buat Perseners yang merasa berada dalam tahap ini atau merasa ragu tidak mendapat arahan yang baik apabila hanya menyelesaikan masalah sendiri. Kalian bisa kok berkonsultasi dengan Psikolog dari Satu Persen dengan klik banner di bawah ini.

CTA-Blog-Post-06-1-15

Kalian nantinya akan ditangani secara one-on-one oleh psikolog lulusan S2 profesi psikolog klinis dewasa. Sehingga, konseling akan membantu kalian untuk mendalami peran laki-laki secara lebih terarah dan terpercaya. Kalian juga akan dibantu untuk belajar mengenai kesadaran emosi lebih baik.

Oh iya, setelah psikolog memberikan diagnosis pasti, Perseners akan diberikan asesmen yang lebih mendalam atau terapi tertentu jika dibutuhkan. Satu Persen di sini akan selalu ada buat Perseners berkembang paling tidak satu persen setiap harinya.

Kalau kalian pengen nonton penjelasan lain tentang toxic masculinity ini, kalian juga bisa nonton video dari YouTube Satu Persen di bawah ini, ya!

YouTube Satu Persen – Kenapa Cowok Susah Curhat?

So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini dapat membantu kalian menjalani hidup seutuhnya. Akhir kata, aku cuman mau bilang kalau: “You have to be man before you can be a gentleman.

By the way, film ini sebenarnya masih tayang di bioskop, Perseners. Kalian bisa menikmati film ini di bioskop kesayangan, ya! Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Referensi:

https://www.independent.co.uk/life-style/benedict-cumberbatch-toxic-masculinity-behaviour-men-b1964096.html

https://www.childrenssociety.org.uk/what-we-do/blogs/how-toxic-masculinity-affects-young-people

https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-masculinity-5075107

https://edgar.ae/articles/how-to-identify-and-deal-with-toxic-masculinity/

Read More
judi

Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental

Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental
Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental

Halo, Perseners! How’s life?

Kenalin, nama gue Hana. Gue di sini menulis sebagai Associate Writer dari Satu Persen.

Pasti ada dari kalian yang akhir-akhir ini lagi gak baik-baik aja. Mungkin ada yang lagi dapet cobaan atau mengalami kegagalan. Lalu, gimana sih cara kalian menghadapi perasaan yang kurang enak itu?

Mungkin ada berbagai macam cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan berusaha untuk tetap berpikir positif. Tentunya, gak ada yang salah dari bersikap optimis kayak begitu. Akan tetapi, kalau dilakukan secara berlebihan, yang ada malah menambah masalah baru—alih-alih menyelesaikan masalah dan bikin lo merasa lebih baik.

Pernah dengar tentang toxic positivity? Nah, istilah yang lagi lumayan rame di media sosial ini sering digunakan untuk menggambarkan sikap “terlalu positif” tadi.

Tapi, toxic positivity itu sebenernya apa sih? Yakin udah bener-bener paham sama toxic positivity?

Apa Itu Toxic Positivity?

Sederhananya, toxic positivity adalah keyakinan yang gak wajar bahwa kita harus berpikir positif dalam situasi apapun. Bahkan ketika pada faktanya kita lagi gak baik-baik aja. Sehingga, sikap positif tersebut justru malah merugikan alih-alih memberi dampak baik.

Terus gimana dampaknya? Well, sama seperti hal lainnya, sikap positif yang berlebihan dapat berakhir menjadi racun. Iya sih, niatnya baik, yaitu mau ngasih semangat supaya gak sedih terus. Tapi, sikap positif yang udah di tahap toxic gak akan bikin orang yang mendengarnya merasa lebih baik.

Toxic positivity dapat berupa pembungkaman emosi negatif yang sebenernya gak apa-apa buat diekspresikan. Bisa juga dengan bersikap menyepelekan kesedihan alih-alih memvalidasinya. Hal itu bisa bikin orang malah menekan perasaan yang sebenarnya dan berpura-pura bahagia.

Ucapan penyemangat yang mengandung toxic positivity gak hanya dilakukan kepada orang lain aja. Ternyata, kita juga bisa menjadi pelaku toxic positivity kepada diri sendiri, lho! Misalnya, dengan maksain diri buat selalu kelihatan hepi.

Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

Berpikir positif sebenernya bagus buat kesehatan mental kita. Ada banyak bukti dari buku dan studi mengenai manfaat berpikir positif. Misalnya, jadi lebih menghargai diri dan mencegah bunuh diri.

Akan tetapi, ditemukan pula bahwa berpikir positif bukanlah satu-satunya cara yang selalu bisa digunakan dalam menghadapi semua masalah. Dukungan dari orang lain dan keyakinan terhadap diri sendiri juga menjadi faktor keberhasilan dalam menghadapi tantangan hidup. Kalo cuma maksain buat berpikir positif, nanti jatuhnya jadi berlebihan atau toxic positivity.

Mungkin lo jadi bertanya-tanya. Terus, gimana dong cara membedakan berpikir positif yang wajar dan toxic positivity?

Umumnya, toxic positivity ditandai dengan menutupi atau mengabaikan perasaan yang sebenarnya, menghilangkan emosi secara langsung, invalidasi emosi, mempermalukan orang yang mengungkapkan perasaan negatif, dan lain-lain. Berpikir positif yang benar tentu bukan dengan cara seperti ini ya, guys.

Gak cuma bikin seseorang merasa bersalah ketika merasakan emosi negatif, toxic positivity juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental, lho. Terutama kalo toxic positivity terus-menerus dilakukan.

Baca Juga: Toxic Positivity: Niat Berbuat Baik, Malah Bikin Buruk

Dampak Toxic Positivity: Sisi Gelap Menjadi Terlalu Positif

Sebagai manusia, wajar aja dong kalo kita merasa marah, sedih, atau lagi gak semangat. Soalnya, hidup juga gak selalu menyenangkan. Kadang kita mengalami hal-hal yang gak diinginkan. Jadi, kita gak perlu maksain diri buat selalu dalam mode “positive vibes”, kok!

Selain itu, toxic positivity juga bisa berdampak buruk buat kesehatan mental kita. Efeknya gak cuma sesaat aja, tapi bisa dalam jangka panjang juga.

Wah, emangnya bisa sampe seburuk apa, sih?

1. Toxic positivity bikin ngerasa malu sama emosi sendiri

Maksain buat berpikir positif ketika lagi ngerasa sakit cenderung bisa ngebuat seseorang menderita dalam diam. Kita menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya karena takut dinilai negatif, lemah, atau gak asyik. Kalo udah kayak begitu, biasanya kita jadi malu kalo diminta buat jujur mengenai perasaan kita.

Rasa malu sendiri merupakan sesuatu yang cukup mengganggu. Biasanya, kalo udah malu duluan, pasti susah banget buat diusahain jadi berani. Bener, gak?

Nah, supaya nanti gak perlu malu lagi sama apa yang kita rasakan, yuk kurangi toxic positivity dari sekarang! Mending banyak-banyakin memvalidasi perasaan dan berdamai sama kehadirannya 🙂

Baca Juga: Marah Bagian Dari Kita: Bagaimana Mengatasinya?

2. Toxic positivity berarti menekan emosi yang sebenarnya dirasakan

Sebuah studi menemukan bahwa mengekspresikan emosi, bahkan yang negatif sekali pun, ternyata membantu kita untuk mengatur respon stres. Menekan emosi dengan bertindak seolah-olah gak ada apa-apa malah meningkatkan kadar stres di dalam diri kita.

Artinya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa menekan emosi gak akan mengurangi masalah. Justru terus-terusan menekan emosi malah memunculkan kebiasaan yang gak sehat. Sehingga, penting banget nih buat belajar menerima emosi, termasuk emosi yang menyakitkan.

3. Merasa terisolasi gara-gara toxic positivity

Bersikap seolah-olah selalu tangguh karena toxic positivity malah membuat kita seperti bukan manusia sewajarnya. Akhirnya, kita jadi gak terkoneksi lagi dengan diri sendiri, dan orang lain pun jadi sulit juga buat terkoneksi sama kita.

Padahal, lo bisa minta bantuan kepada orang terdekat pas lagi gak baik-baik aja. Tapi, toxic positivity bikin lo gak bisa jujur bahwa sebenernya lo butuh pertolongan. Kalo udah begitu, gak heran kalo lo mulai ngerasa terisolasi.

Bersikap positif tanpa melakukan toxic positivity

Menjadi “terlalu positif” itu gak selamanya baik. Oke, mungkin lo udah paham soal itu. Tapi, lo jadi kepikiran gak sih, gimana cara ngasih semangat yang benar tanpa toxic positivity?

Pada akhirnya, lo pasti pengen diri lo atau orang lain yang lagi gak baik-baik aja itu bangkit dari keterpurukan dan mulai optimis lagi. Tentunya, gak ada orang yang mau mikir negatif terus.

Well, kita bisa jadi suportif buat diri sendiri atau orang lain tanpa toxic positivity. Caranya? Kita harus lebih memperhatikan ucapan ketika lagi nyemangatin seseorang yang sedang gak baik-baik aja.

Nah, berikut adalah ucapan yang cenderung toxic dan sebaiknya lo hindari:

“Udah, pikirin yang bagus-bagus aja, deh.”

“Setiap kejadian buruk pasti ada alasan dan hikmah baik di baliknya, kok.”

“Kalo gue bisa, lo pasti juga bisa kok melaluinya.”

“Masih mending kalo cuma segitu. Bisa lebih parah lagi, lho!”

Alangkah lebih baik kalo lo melakukan validasi terhadap apapun yang dirasakan. Kalo posisinya lo lagi ngasih support ke orang lain, jangan lupa buat nanyain apa yang bisa kita bantu buat mereka. Bisa juga dengan bilang bahwa lo ada buat mereka.

“Pasti berat buat lo, ya. Wajar aja kalo lo jadi ngerasa sedih.”

“Tenang, gue di sini ada buat nemenin lo, kok. Lo gak sendirian.”

“Kira-kira ada yang bisa gue bantu gak, supaya lo ngerasa lebih baik?”

Gimana? Keliatan kan, bedanya?

Dengan validasi, orang jadi lebih ngerasa aman buat menerima emosi mereka. Menerima fakta bahwa lo terluka itu merupakan awal dari tahap pemulihan. Lo pasti juga bisa menilai sendiri kan, perkataan seperti apa yang lebih enak buat didengar dan diterima?

Coba Juga: Tes Tingkat Resiliensi: Belajar Bangkit Lagi Yuk!

gambar-orang-overthinking
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

Oke, kita udah tahu apa itu toxic positivity dan bagaimana supaya gak melakukan itu. Tapi, gimana kalo lo belum punya support system yang gak melakukan toxic positivity, padahal lo lagi butuh banget buat divalidasi dan ditemenin? Atau gimana kalo lo udah punya support system yang tepat, tapi lo ngerasa itu belum cukup membantu?

Tenang aja, Perseners. Cari bantuan itu gak cuma sebatas ke orang terdekat aja, kok. Mungkin lo juga butuh yang namanya konsultasi sama psikolog. Dan kabar baiknya, Satu Persen punya layanan konseling online yang pastinya cocok buat lo.

Layanan konseling online hadir buat lo yang butuh bantuan klinis dan ditangani oleh psikolog. Nantinya, lo difasilitasi dengan psikotes, worksheet, dan juga bisa mendapatkan diagnosa. Gak cuma itu, lo juga bakal diberikan asesmen mendalam dan terapi apabila dibutuhkan. Tentunya, lo gak perlu takut mengalami toxic positivity kalo konseling sama Satu Persen.

Buat informasi selengkapnya, langsung aja klik gambar di bawah ini yah!

Satu-Persen-Artikel--30--6

Kalo lo ngerasa pembahasan di artikel ini masih kurang, lo juga bisa cari tahu lebih dalam tentang toxic positivity lewat video YouTube Satu Persen. Tinggal klik dan tonton aja video di bawah, ya!

Oke, cukup segitu dulu tulisan gue kali ini. Gue harap, artikel ini bisa bermanfaat buat lo yang lagi butuh, ya. Gak perlu khawatir, semua perasaan kalian itu valid buat dirasakan, kok. Semoga bisa cepat pulih, ya 🙂

Buat lo yang mungkin masih sering menyangkal emosi dan toxic positivity ke diri sendiri, lo gak berusaha sendirian, kok. Gue, lo, dan kita semua sama-sama belajar buat jadi orang yang lebih baik. Yang penting lo terus berproses, minimal #SatuPersen setiap hari menuju #HidupSeutuhnya.

Akhir kata, thanks a million!

Referensi

Quintero, S., Long, J. (2019). Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Retrieved on April 16, 2021 from https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/.

Villines, Z. (March 30, 2021). What to know about toxic positivity. Retrieved on April 16, 2021 from https://www.medicalnewstoday.com/articles/toxic-positivity.

Read More