putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Penyakit

judi

Gimana Cara Menghadapi Orang dengan Penyakit Kejiwaan?

Gambar oleh Satu Persen - Menghadapi Orang Sakit Jiwa
Satu Persen – Menghadapi Orang Sakit Jiwa

Halo! How was your day, Perseners? Salam kenal, aku Ruth, salah satu associate blog writer di Satu Persen.

Kali ini, aku mau bahas penyakit kejiwaan yang orang masih sering gak tau cara menanganinya walaupun masing-masing dari kita punya obatnya. Bukan flu, bukan gondok, tapi penyakit kejiwaan.

“Sakit jiwa lu, ya?” “Maklum, lagi abis obatnya.”

Kamu mungkin gak asing sama kata-kata kayak gitu. Bercandanya sih memang gampang. Nyatanya, nyembuhin penyakit kejiwaan gak semudah memutar otak buat bales ledekan teman.

Tapi, gak perlu khawatir. Karena, sama aja kayak penyakit fisik, penyakit kejiwaan itu bisa disembuhkan. Mungkin sehari-hari kamu sadar ada orang-orang di sekitarmu yang kelihatannya lagi punya masalah. Walaupun gitu, gak ada cara pasti untuk tau apa yang lagi mereka pikirkan dan rasakan.

Dan kamu gak harus selalu tau.

Cukup tau aja kalo apapun yang kamu lakukan untuk membantu mereka melewatinya itu sangat berarti buat mereka. Soalnya, aku yakin kamu sendiri pasti pernah melewati masa-masa sulit. Dan ada saatnya juga kamu khawatir tentang kesehatan jiwa orang lain.

Sebelum tau cara menghadapi orang yang sedang mengalami penyakit kejiwaan, coba kita kenalan dulu sebentar sama definisi aslinya.

Apa itu Penyakit Kejiwaan?

Dikutip dari UU Kesehatan Jiwa No.18 Tahun 2014, Orang Dengan Masalah Kejiwaan alias ODMK adalah orang-orang yang punya masalah mental, fisik, sosial, pertumbuhan dan perkembangan.

Baca juga: Masalah Kesehatan Mental di Indonesia

Nah, kualitas hidup yang terganggu ini punya resiko bagi mereka yang punya penyakit kejiwaan untuk mengalami gangguan jiwa. Dan menurut American Psychiatric Association, konsep penyakit kejiwaan sendiri menunjukkan ciri disfungsi pada individu dan bukan disfungsi masyarakat.

Bisa itu berupa depresi, rasa putus asa, cemas, atau khawatir yang berlebihan. Mungkin juga memiliki halusinasi, rasa sedih tanpa alasan yang jelas, atau bahkan mudah marah karena penyalahgunaan zat narkoba.

Nah, kita kan udah kenalan dikit sama penyakit kejiwaan. Sekarang, gimana sih cara menghadapi orang dengan masalah kejiwaan?

Gimana Cara Menghadapi Orang dengan Masalah Kejiwaan?

Semisal kamu merasa kenal dengan seseorang yang memiliki penyakit kejiwaan, mungkin sulit bagimu buat tahu apa yang harus dilakukan. Kalo kamu sadar ada seseorang yang sedang mengalaminya, penting bagimu untuk gak menunggu. Jangan tunggu mereka datang dulu untuk minta bantuan.

Mencoba membuka pembicaraan dengan seseorang sering kali merupakan langkah pertama yang harus diambil ketika kamu tahu doi sedang mengalami masa yang sulit. Dengan cara ini kamu bisa tahu apa yang lagi membebani pikiran mereka. Cari tahu apa yang bisa kamu lakukan untuk meringankannya.

Dilansir dari Mental Health Foundation, berikut beberapa cara yang bisa kamu praktikan dalam menghadapi seseorang yang mengalami sakit jiwa:

1. Waktu dan Tempat Dipersilakan

Memberikan kebebasan buat doi mencurahkan apa yang lagi dirasa dan dipikirkan. Mulai dari waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan. Entah itu teralihkan dengan kamu yang curi-curi pandang sama notifikasi hp-mu atau kamu yang gak bisa dengar ceritanya karena rumahmu lagi ramai sama kuli proyek.

Jangan lupa untuk biarkan mereka menikmati kesedihannya. Cukup dengan memberi ruang untuk meluapkan apa yang dirasa dengan jujur tanpa menutup-nutupinya. Tapi, tetap sadarkan mereka saat kamu rasa kesedihan itu sudah menenggelamkan mereka sampai hilang kendali.

Begitupun kamu juga harus bisa mengendalikan diri. Jangan sampai melewati personal boundaries mereka. Kamu ada di sampingnya untuk jadi pendengar, jadi kamu gak harus mencecar-nya dengan banyak pertanyaan.

Podcast Satu Persen – Menjadi Pendengan yang Baik

2. Jangan Tekan Mereka

Biarkan mereka memimpin pembicaraan dengan kecepatan mereka sendiri. Jangan menekan mereka untuk memberitahu kamu apa pun yang belum siap mereka bicarakan. Berbicara membutuhkan banyak kepercayaan dan keberanian.

Kamu mungkin orang pertama yang bisa mereka ajak bicara tentang hal ini.

3. Jangan Self-Diagnose

Kecuali kamu ahli medis, meskipun kamu senang memberi dukungan, kamu bukanlah seorang konselor terlatih yang bisa menjustifikasi perasaan dan menentukan penyakit kejiwaan doi. Usahakan untuk gak membuat asumsi tentang apa yang salah. Dan jangan terlalu cepat membuat diagnosis atau mengikuti solusi kamu sendiri.

Gambar oleh pch.vector dari Freepik
Gambar oleh pch.vector dari Freepik

4. Buat Pertanyaan Tetap Terbuka

Coba tanyakan “Gimana kalo kamu ceritakan perasaanmu? Tapi, kalo kamu siap aja,” daripada “Aku bisa lihat kamu sedih banget, sih”.

Ingat untuk menjaga bahasamu tetap netral. Beri doi waktu untuk memproses perasaannya dan ngasih jawaban. Usahakan untuk gak memborbardirnya dengan terlalu banyak pertanyaan.

5. Berikan Solusi Menangani Stres

Perhatikan situasi kondisi dan toleransi dulu, guis. Saat dirasa ada kesempatan pas doi lebih tenang, sisipkan pembicaraan tentang cara menghilangkan stres atau mempraktikkan perawatan diri.

Coba juga: Cara Terbaik Merawat Diri

Bisa juga tanyakan apakah mereka menemukan suatu kegiatan yang berguna buat diri mereka kayak olahraga, jalanin pola makan yang sehat, atau bahkan tidur malam yang nyenyak juga bisa bantu melindungi kesehatan mental mereka.

Kamu bisa tonton video di bawah ini untuk mengetahui lebih jauh cara-cara mengatasi stres.

YouTube Satu Persen – Cara Menghadapi Stress

6. Dengarkan Baik-Baik

Kamu bisa ulang ke mereka apa yang mereka bilang buat memastikan kalo kamu udah mendengar dan memahaminya.

Kamu gak harus setuju dengan apa yang doi katakan, dan mungkin aja doi udah mengucapkannya berulang-ulang. Tapi, dengan menunjukkan kalo kamu memahami perasaannya aja kamu udah buat doi tahu kalo kamu menghargai perasaannya.

7. Ketahui Batasan Kamu

Kamu bisa inisiatif mencari bantuan atau informasi terkait kalo kamu yakin mereka dalam bahaya langsung atau ngalamin cedera yang memerlukan perhatian medis.

Kamu yang tau kalo dirasa harus ambil tindakan untuk memastikan mereka aman.

Gambar oleh pch.vector dari Freepik
Gambar oleh pch.vector dari Freepik

Tetap ingat kalo mereka juga punya personal boundaries tadi yang kusebut di atas. Hindari hal-hal yang kamu rasa sensitif. Berhenti kalo kelihatannya mereka gak nyaman membicarakannya alias hal-hal privasi yang kamu sendiri juga punya.

Mungkin kamu bisa coba posisikan dirimu sebagai mereka. Kamu juga pasti punya batas-batas yang gak mau orang lain lewati tanpa seizin mu, kan?

8. Tawarkan Bantuan Profesional dan Beri Informasi Terkait

Mungkin kamu bisa menawarkan doi buat pergi ke dokter umum bareng, atau bantu doi berbicara sama teman atau anggota keluarga.

Cobalah untuk gak mengambil kendali dan biarkan mereka membuat keputusan.

Tapi, kalo dirasa mereka udah hilang arah dan malah membuat keputusan yang buruk, ada baiknya kamu mengingatkan dan menyadarkan doi untuk tetap di jalan yang baik buat dirinya.

Sekiranya kamu kenal sama seseorang yang sedang memiliki penyakit kejiwaan dan membutuhkan bantuan profesional, atau kamu sekedar mencari informasi terkait menangani penyakit kejiwaan, kamu selalu bisa tanya-tanya atau cari informasinya melalui Satu Persen.

Dengan mengikuti layanan konseling yang disediakan oleh Satu Persen, kamu bakal dikasih tahu penanganan yang baik buat menangani orang-orang yang sedang mengalami masalah kejiwaan.

Selain bisa cerita dengan aman sama Psikolog Satu Persen, kamu juga bisa dapat banyak benefit lainnya, loh! Untuk benefitnya cukup klik aja gambar di bawah ini, ya.

Satu-Persen-Artikel--30--3

Sekian dulu dari aku, semoga artikel ini bisa membantu kamu lebih lagi menuju #HidupSeutuhnya, setidaknya Satu Persen setiap harinya. Terima kasih dan sampai jumpa!

References

https://www.psychologytoday.com/us/blog/she-comes-long-way-baby/201908/what-is-mental-illness-and-who-has-it#:~:text=Mental%20illness%20is%20designed%20to,been%20more%20political%20than%20scientific.

https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-couch/201903/everybody-needs-boundaries-6-ways-make-them-work-you

https://www.mentalhealth.org.uk/publications/supporting-someone-mental-health-problem

Read More
judi

Mengenal OCD, Gangguan Penyakit yang Menimbulkan Kecemasan

Mengenal OCD (Obsessive Compulsive Disorder)
Satu Persen – Mengenal OCD

Halo semua! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen.

Hari ini aku mau sedikit cerita soal temenku yang gila banget sama bersih-bersih, nih. Aku mengenal dia sebagai pribadi tidy person. Dulu semasa kuliah aku sering menyebutnya sebagai Sie Kebersihan karena paling gak bisa lihat temannya gak bersih. Dia rela buat nyuciin baju kotorku yang menumpuk 2 minggu di pojokan kamar kos. Awalnya, aku mengira itu sebagai bentuk perhatian aja. Sampai suatu kejadian aneh muncul.

Hal itu terjadi saat aku berniat buat menginap di kos dia selama di Surabaya. Kebetulan waktu itu aku sedang ada urusan buat beresin berkas kelulusan kampus. Sepanjang aku menginap, dia kelihatan terobsesi banget buat bersihin kamar, ngerapiin baju di lemari, nyapu lantai kamar, dan bersihin meja belajar yang mana menurutku udah rapi-rapi aja gitu.

Gak sampai situ aja, kegiatan itu ia lakukan secara berulang-ulang. Saking risihnya, aku sampai nyuruh dia buat berhenti karena emang gak ada yang perlu dibersihkan. Tak berselang lama, dia ngomong ke aku kalau dia mengidap gangguan OCD.

meme spongebob squarepants cleaning
Cr: Tenor.com

Jadi, Apa Itu OCD?

Obsessive Compulsive Disorder (OCD) adalah gangguan menahun umumnya diderita oleh 1-3% populasi penduduk dunia. OCD adalah salah satu jenis gangguan di mana penderitanya memiliki pikiran yang gak terkontrol, sehingga penderita akan kesulitan untuk mengendalikannya. Pikiran-pikiran itu akan terus-menerus datang (obsesif) yang membuat penderita melakukan suatu tindakan tertentu.

Meskipun penderita mungkin menyadari bahwa pikiran itu gak berguna buat dilakuin, sangat sulit buat dia mengabaikan pikiran itu. Jadi untuk mengurangi tekanan, penderita biasanya terpaksa melakukan tindakan berulang-ulang (kompulsif). OCD bisa mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan distress yang signifikan loh, Perseners! Seperti yang terjadi sama temenku tadi.

meme spongebob squarepants OCD
Cr: memegenerator.net

Baca juga: Social Anxiety Disorder: Gangguan Cemas, Gejala, dan Penanganannya

Contoh-contoh Gejala OCD

Gangguan obsesif kompulsif atau OCD terdiri dari pikiran obsesif dan kompulsif dimana pemikiran itu saling terkait. Obsesif adalah pikiran, desakan, atau ide yang terus-menerus datang ke dalam pikiran sehingga menyebabkan kecemasan. Gejala yang dialami kayak takut terkontaminasi sama kuman atau kotoran, menyukai hal teratur dan simetris, kehilangan kendali, hingga cenderung agresif.

Gejala obsesif biasanya akan diikuti sama gejala kompulsif. Gejala kompulsif adalah tindakan berulang-ulang yang terpaksa dilakukan oleh penderita buat mengurangi kecemasan obsesif ini. Biasanya, tindakan kompulsif dilakukan secara berlebihan dan tidak realistis dengan masalah yang ingin diperbaiki.

Contohnya kayak mencuci tangan berulang kali supaya terhindar dari kuman, mengatur barang-barang yang sudah tertata rapi secara simetris, membersihkan ruangan bersih berulang kali, atau memeriksa kompor berulang kali dan memastikannya mati.

Baca juga: 11 Bulan Pandemi: Negatif Corona, Positif Gangguan Kecemasan?

Apa Sih Faktor Penyebab OCD?

Gangguan OCD gak memandang gender atau usia. Siapa aja bisa mengidap OCD berdasarkan faktor-faktor penyebab OCD ini sendiri, yaitu:

1. Faktor Genetik

Tingkat kekerabatan memengaruhi seseorang terkena OCD atau tidak. Kekerabatan berpotensi sangat besar mewariskan penyakit OCD. Kekerabatan yang dimaksud adalah kerabat dekat (tingkat pertama) seperti keluarga, yaitu ayah, ibu, atau saudara kandung.

2. Faktor Biologis

Penelitian menunjukkan OCD berhubungan dengan tingkat serotonin rendah yang menyebabkan penderita mudah berubah mood seperti gampang marah. Kemudian kelainan pada korteks orbitofrontal yang berpengaruh pada kognitif dan emosi serta kelainan ganglia basal dalam otak yang bertanggung jawab pada gangguan obsesif kompulsif.

3. Faktor Psikologis

Orang yang mudah cemas, perfeksionis, atau suka menjaga sesuatu buat tetap bersih dan rapi juga rawan menderita OCD.

meme spongebob squarepants OCD
Cr: Imgflip.com

Terus, Bagaimana Cara Menanganinya?

1. Terapi Kognitif

Terapi kognitif dianggap sebagai terapi yang cukup efektif untuk mengatasi OCD. Terapi kognitif adalah terapi yang berfokus mengubah pemikiran atau keyakinan yang negatif. Sebagian besar penelitian menyebutkan teknik kognitif pada penderita OCD akan lebih besar pengaruhnya kalau disertai teknik-teknik modifikasi tingkah laku, misalnya seperti pemberian tugas-tugas rumah.

Sehingga terapi kognitif yang cocok dengan penderita OCD adalah terapi kognitif perilaku. Biasanya pasien akan melakukan sesuatu yang sering dihindarinya. Sebagai contoh, psikolog akan meminta penderita yang takut kotoran untuk menyentuh tanah, kemudian mengajarkan cara mengatasi rasa takutnya tersebut.

Nah, terapi perilaku kognitif ini bisa dilakukan secara individu atau berkelompok. Dan walaupun terapi ini mungkin terdengar menakutkan bagi penderita, tetapi kecemasan penderita akan berkurang secara bertahap seiring dengan jumlah terapi yang dijalaninya.

2. Pengobatan

Konsumsi obat hanya bisa diresepkan oleh psikiater dan bukan psikolog. Psikiater akan memberikan obat antidepresan sesuai dengan kebutuhan dan diagnosis penderita. Penggunaan obat bertujuan agar penderita bisa melakukan aktivitas secara baik dengan mengurangi gejala.

3. Kombinasi Terapi dan Obat

Meskipun pengobatan tunggal dapat dilakukan, kedua metode psikoterapi dan pengobatan dapat dikombinasikan. Sama dengan metode pengobatan, metode jenis ini harus mendapat persetujuan profesional seperti psikiater.

Sekarang ini, banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya terkena OCD loh, Perseners! Banyak juga penderita OCD yang akhirnya menyembunyikan gejala yang dimiliki karena malu dan gak mendapat dukungan sosial. OCD juga punya level keparahan yang berbeda-beda dan kalau tidak segera ditangani bisa ngerugiin fisik, mental dan kehidupan sosial penderitanya.

Terus, gimana kalau ternyata kalian mengidap OCD? Tenang aja, Satu Persen bisa ngebantu kalian dengan layanan konseling juga, kok! Layanan konseling ini dilakuin secara one-on-one dengan psikolog yang berpengalaman dan ahli di bidangnya. Dan kalau dibutuhin, dengan layanan ini kalian juga bisa melakukan psikoterapi juga, loh!

CTA-Blog-Post-06-1-4

Nah, kalau kalian masih ragu apakah harus ke psikolog atau gak, kalian bisa coba ikut tes konsultasi dulu.

Tapi, kalau semisal layanan konseling gak ngebantu kalian dalam hal ini, kalian juga bisa langsung mencari pertolongan ke psikiater, ya. Karena gak bisa dipungkiri kalau OCD juga merupakan salah satu gangguan yang sulit ditangani.

Sekian dulu dari aku, semoga artikel ini ngebantu kalian buat jalani #HidupSeutuhnya, ya. Salam Sehat!

Referensi:

1.     Puspitosari WA. Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif Kompulsif Cognitive and Behavior Therapy for Compulsive Obsessive Disorder. Mutiara Med. 2009;9(2):73–9.

2.     Syafaatul L, Hamidah. Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Obsessive Compulsive Disorder Pada Remaja Putri dengan Kecenderungan Body Dhysmorphic Disoorder. J Psikol Klin dan Kesehat Ment [Internet]. 2018;Vol. 7:84–96. Available from: http://url.unair.ac.id/3cb97dc0

3.     Yoga Wibowo B, Hardika Legiani W, Bimbingan dan Konseling P, Keguruan dan Ilmu Pendidikan F, Sultan Ageng Tirtayasa U, Pendidikan Kewarganegaraan P. Studi Deskriptif Orang Dengan Obsesive Compulsive Disorder. 2019;2(1):694–706.

Read More
judi

Sering Lupa? Yuk Kenali 5 Gejala Penyakit Alzheimer

Satu Persen Gejala Penyakit Lupa Alzheimer
Satu Persen – Gejala Penyakit Alzheimer

Perseners, pernah nggak sih kalian nemuin celetukan-celetukan ini ketika ngobrol bareng temen?

Bentar bentar, kok gue lupa ya…? Haduh, tanda-tanda udah tua, nih.

Atau

Aduh, gue nggak inget. Maklum faktor usia.

Yup, sering kali kondisi lupa akan sesuatu dikaitkan dengan faktor usia. Kondisi ini sering dikenal dengan istilah pikun atau demensia, suatu hal yang dianggap lumrah untuk orang yang sudah berusia lanjut. Tapi nih Perseners, sebenarnya ada juga loh, kondisi sering  lupa yang menjadi salah satu dari gejala penyakit mematikan yang bahkan belum ditemukan obatnya.

Nama penyakit ini adalah demensia alzheimer atau lebih akrab disebut alzheimer. Dilansir Alzheimer’s Indonesia, alzheimer merupakan penyakit di mana terjadi penurunan fungsi otak termasuk fungsi kognitif yang meliputi kemampuan daya ingat, berbahasa, fungsi visuospatial dan fungsi eksekutif ODD. Penyakit ini lebih sering ditemui pada perempuan dan berusia lebih dari 60 tahun.

Alzheimer ditemukan oleh Alois Alzheimer pada tahun 1906. Penyakit ini merupakan bagian dari jenis penyakit demensia yang paling banyak ditemui. Atau bisa dikatakan 0-70 persen dari kasus demensia atau pikun merupakan Alzheimer. Penyakit yang dapat menyebabkan kematian ini hanya bisa diperlambat perkembangannya melalui obat-obatan namun tidak bisa disembuhkan secara total.

Baca juga: Sering Lupa? Bisa Jadi Kamu Mengalami Gejala Demensia

Lalu, Apa Saja Gejala Alzheimer?

Meskipun sudah 115 tahun sejak ditemukannya penyakit ini belum ada obatnya, alzheimer sudah dapat dideteksi gejalanya sejak dini, loh. Terlebih penyakit alzheimer dimulai setidaknya 10 tahun sebelum gejala-gejala umum muncul. Berikut beberapa gejalanya:

1. Sering Lupa atau Mengalami Gangguan Daya Ingat

Lupa yang dialami orang normal dengan orang yang mengalami gangguan alzheimer berbeda loh, Perseners. Orang normal yang lupa akan sesuatu, akan mudah untuk mengingatnya kembali dalam kurun waktu yang cepat. Sedangkan seseorang dengan gangguan alzheimer akan lupa dengan suatu hal yang bahkan baru saja terjadi dan lupa terhadap hal-hal umum, seperti acara yang baru diadakan bahkan nama kamu.

2. Sulit Fokus

Seseorang dengan penyakit alzheimer akan sulit sekali fokus terhadap sesuatu. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, bahkan pekerjaan sederhana atau umum seperti memasak dan menyetir mobil. Di samping itu, sulitnya diri untuk fokus membuat mereka juga kesusahan untuk merencanakan sesuatu.

3. Disorientasi Tempat dan Waktu

Disorientasi adalah perbedaan apa yang dirasakan seseorang dengan apa yang sebenarnya terjadi sehingga menimbulkan kebingungan. Orang dengan penyakit alzheimer sering mengalami disorientasi tempat dan waktu. Mereka akan mudah tersesat atau bahkan tidak tau jalan pulang ketika bepergian. Dan bisa juga, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan di pagi hari pada malam hari.

Alzheimer
Cr. Dicito Community

4. Kesulitan Memahami Visuospatial

Kesulitan memahami visuospatial dapat ditandai dengan kesulitan membedakan warna, tidak mengenali wajah sendiri di cermin, menabrak cermin saat berjalan hingga tidak tepat saat menuangkan air ke dalam gelas. Selain itu, penderita alzheimer juga perlahan-lahan akan kesulitan untuk membaca dan mengukur jarak

5. Perubahan Perilaku dan Kepribadian

Perubahan emosi yang drastis juga kerap dialami oleh orang yang terkena alzheimer. Mereka akan mudah sekali bingung, cemas, bahkan curiga dan depresi. Di samping itu, penderita alzheimer akan lebih bergantung terhadap keluarganya. Emosi ini kemudian mendorong penderita alzheimer untuk merasa mudah kecewa dan putus asa.

Kalau Perseners melihat keluarga terdekat atau bahkan merasakan sendiri gejala-gejala diatas, bisa banget untuk segera berobat ke dokter untuk dikonsultasikan. Dengan menyadari lebih awal gejala yang dirasa, akan mempercepat pula pemberian obat dari dokter. Hal ini membantu memperlambat perkembangan gejala agar tidak semakin parah.

Cara Mencegah Penyakit Alzheimer

Selain menyadari lebih dini gejala dari penyakit alzheimer, penyakit ini juga dapat dicegah. Salah satu faktor kuncinya yaitu dengan menjalani pola hidup sehat.  Beberapa cara menjalani pola hidup sehat untuk mencegah Alzheimer diantaranya:

1. Menjaga Kesehatan Jantung

Menjaga kesehatan jantung menjadi kunci menerapkan gaya hidup sehat. Seperti dengan tidak merokok dan menjaga kolesterol serta tekanan agar tidak tinggi. Hal ini dilakukan supaya tidak memicu penyakit stroke yang dapat mengembangkan penyakit alzheimer.

2. Berolahraga

Beraktivitas fisik atau olahraga juga dapat membantu mengurangi tekanan darah dan berat badan, serta mengurangi risiko diabetes tipe II dan beberapa bentuk kanker. Hal ini dikarenakan ketika kita berolahraga aliran darah dan oksigen akan menuju otak.

Tari poco-poco mengurangi risiko penyakit alzheimer
Cr. novikatw.wordpress.com

Dengan berolahraga yang teratur bahkan dapat mengurangi risiko terkena alzheimer hingga 50 persen. Olahraga poco-poco menurut bukti dari riset dapat mengurangi risiko penyakit alzheimer loh, Perseners!

Baca juga: Olahraga: Cara Ampuh Menghilangkan Stres

3. Menjaga Pola Makan

Hal penting yang harus ada dalam pola hidup sehat adalah menjaga pola makan. Apa yang kita makan mencerminkan bagaimana kualitas dari tubuh kita. Nah, Perseners bisa nih cobain Tes Kualitas Makan dari Satu Persen untuk mengetahui bagaimana kualitas dari pola makan teman-teman selama ini.

Tes Kualitas Makan
Satu Persen – Tes Kualitas Makan

Tentu saja dalam menjaga pola makan dianjurkan untuk mengurangi fast food. Perseners disarankan untuk memperbanyak konsumsi sayur dan buah segar, gandum utuh, minyak zaitun, kacang-kacangan, ikan, unggas, telur, dan susu.

4. Bersosialisasi dan Beraktivitas Positif

Kegiatan sosial apalagi aktivitas yang positif membantu mengurangi risiko alzheimers melalui stimulasi otak. Dengan bersosialisasi pula dapat mengurangi risiko stres dan depresi. So, sesibuk apa pun Perseners mengerjakan tugas seharian, jangan pernah lupa ya untuk ngobrol-ngobrol santai bareng teman!

Di Akhir, gue mau menegaskan bahwa kondisi sering lupa bukanlah hal yang wajar untuk orang orang berusia lanjut. So, yuk mulai jaga kualitas hidup kita dengan pola hidup sehat dan #HidupSeutuhnya! Kalau lo merasa sering lupa sehingga mengganggu aktivitas lo, lo bisa konsultasi ke psikolog Satu Persen. Klik banner di bawah ya buat info selengkapnya.

CTA-Blog-Post-06-1-4

Gue Zahra Blog Writer Satu Persen, salam sehat mental dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Referensi:

  1. Alzheimer’s Disease.2021.  Psychology Today. retrieved from Alzheimer’s Disease | Psychology Today
  2. 10 gejala awal Demensia Alzheimer. 2019. Retrieved from 10 gejala awal Demensia Alzheimer – Alzheimer Indonesia (alzi.or.id).
  3. Faktor-Faktor Resiko & Cara Mengurangi Resiko Demensia Alzheimer. 2019. retrieved from Faktor-Faktor Resiko & Cara Mengurangi Resiko Demensia Alzheimer – Alzheimer Indonesia (alzi.or.id)
  4. Tua Tidak Harus Pikun, Ini Cara Mencegah Alzheimer yang Tepat. 2019. Retrieved from https://www.sehatq.com/artikel/cara-mencegah-penyakit-alzheimer/amp
Read More
judi

Bahaya Self-Diagnosis, Asal Menebak Penyakit dari Internet

Bahaya Self-diagnosis
Satu Persen – Bahaya Self-diagnosis

Hai semua! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen.

Hari ini aku seneng banget karena sepupuku lagi main ke rumahku, kebetulan dia memang sedang libur kerja. Niatnya sih, menyempatkan waktu buat aku sekalian melepas penat dari hectic-nya pekerjaan. Aku dan sepupuku duduk santai di beranda rumahku sambil nikmatin udara yang gak sejuk-sejuk amat. Belum lama kita duduk, aku dibuat kaget olehnya karena tiba-tiba dia cerita kayak gini, nih:

S: “Kayaknya aku bipolar, deh.”

A: “Kok bisa tahu, Kak?”

S: “Akhir-akhir ini mood-ku sering berubah-ubah, ngerasa putus asa, dan cemas. Aku habis nyari di internet, katanya itu tanda-tanda gangguan bipolar.”

A: “Udah coba periksa ke psikolog atau psikiater, Kak? Siapa tahu bukan.”

S: “Belum, aku takut.”

Nah, siapa yang suka kayak gini? Kalau ngerasain suatu keluhan penyakit, sukanya langsung browsing di internet. Terus setelah baca informasi di internet, kalian langsung menduga-duga penyakit tertentu tanpa ada diagnosis langsung dari profesional?

Hmm, kalau iya nih, berarti kalian lagi ngelakuin self diagnosis, Perseners!

Apa Itu Self-Diagnosis?

Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Padahal informasi yang tersedia di internet seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine.

Sering ketika mendapatkan suatu informasi penyakit, kita langsung menyimpulkan apa yang kita ketahui tanpa mengonsultasikan lebih spesifik kepada profesional. Padahal informasi yang tersebar di luar sana, ada yang bersifat mentah dan butuh proses pemahaman lebih lanjut untuk dapat dikonsumsi oleh pembaca.

Contohnya seperti yang dilansir Psychological Today bahwa orang yang sering mengalami mood swing biasanya mendiagnosis dirinya terkena gangguan bipolar. Padahal, perubahan suasana hati atau mood swing tidak hanya merujuk pada penyakit bipolar saja, namun dapat mengindikasikan gangguan kepribadian ambang atau depresi berat.

Self-diagnosis meme
Cr: memegenerator.net

Alasan Melakukan Self-Diagnosis

1. Takut Sama Psikolog atau Ahli Lainnya

Alasan banyak orang memilih lebih percaya informasi yang ada di internet adalah karena mereka takut pada apa yang dikatakan oleh psikolog atau ahli lainnya mengenai keluhan penyakitnya. Jangan-jangan gejala yang dirasakan merupakan penyakit yang fatal dan ternyata gak bisa disembuhkan oleh ahli sekalipun.

2. Kurangnya Kepercayaan Terhadap Para Ahli

Alasan lainnya adalah kurangnya kepercayaan pasien terhadap dokter, psikolog, psikiater, atau ahli lainnya. Banyak yang percaya bahwa tenaga ahli melakukan malpraktek sehingga seenaknya mendiagnosis suatu penyakit.

Cobain Yuk, Tes Sehat Mental

Apa Aja Bahaya Self-Diagnosis?

1. Risiko Salah Diagnosis

Seperti yang aku sebutin di atas, menduga-duga penyakit secara mandiri berisiko buat salah diagnosis. Aku contohin semisal penyakit tumor otak. Kita tidak bisa mengidentifikasi penyakit tumor otak hanya berpegang pada informasi dari internet semata. Sebab, harus ada prosedur pemeriksaan lebih mendalam yang dilakukan oleh dokter sampai bisa mendiagnosis bahwa itu benar tumor otak.

Apabila kita gegabah mendiagnosis penyakit, akibatnya bisa fatal, loh! Seperti timbulnya gangguan depresi hingga nekat bunuh diri.

2. Risiko Salah Obat

Tanpa pengawasan dan persetujuan profesional, kita berisiko salah meresepkan obat  untuk diri kita sendiri, Perseners! Ada risiko kemungkinan keracunan obat di dalam tubuh.

Semisal kita lagi mencari solusi buat nurunin berat badan. Ada beberapa artikel di internet yang memberi tips untuk minum obat diet. Padahal mengkonsumsi obat diet sembarangan tanpa teruji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berisiko mengganggu sistem pencernaan, jantung, tekanan darah, dan lain-lain.

3. Sulit Mempercayai Kenyataan

Banyak dari kita yang akhirnya memilih pergi memeriksakan diri kepada profesional. Namun setelah mendapatkan diagnosis penyakit dari ahli, kita kemudian lebih memilih untuk mempercayai informasi yang dibaca dari internet. Hal ini membuat para ahli kesulitan menyadarkan pasiennya. Sehingga dalam situasi ini, para ahli harus menenangkan pasien untuk menerima kenyataan yang ada.

4. Risiko Penanganan Mandiri yang Salah

Informasi pengobatan atau penanganan penyakit yang didapat dari internet tidak bisa jadi patokan untuk semua orang. Karena setiap orang punya riwayat penyakit yang berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui riwayat medis kita guna menangani diri sendiri secara benar.

Contohnya, orang yang memiliki riwayat penyakit bipolar penanganannya berbeda dengan orang yang baru saja memiliki indikasi terkena bipolar.

5. Pemborosan Uang

Setelah mendiagnosis diri orang cenderung memesan produk atau obat-obatan sesuka hati. Dampaknya, tidak hanya merugikan kesehatan tetapi juga menyebabkan pemborosan uang, mengingat obat itu kemungkinan tidak efektif untuk mengobati suatu penyakit.

Self-diagnose meme
Cr: Pinterest.com

Baca juga: Ketahui Kondisi Mentalmu dengan General Health Questionnaire

Terus, Bagaimana Kalau Kita Gak Puas Sama Diagnosis Para Ahli?

Pada dasarnya jika pasien tidak puas dengan diagnosis para ahli, pasien bisa mencari second opinion. Mencari pendapat kedua yang berbeda adalah hak seorang pasien dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatan. Hak yang dipunyai pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari ahli lainnya.

Self-diagnose meme
Cr: imgflip.com

Nah, semisal Perseners lagi memeriksakan diri ke suatu biro konsultasi psikolog atau psikiater non Satu Persen. Namun, kalian ngerasa belum puas atau ragu sama jawaban psikolog atau psikiater itu. Kalian bisa banget konseling sama Satu Persen buat dapet second opinion dengan klik banner di bawah ini!

CTA-Blog-Post-06-1-7

Atau mungkin kalau kalian udah bener-bener percaya sama layanan Satu Persen, kalian juga bisa langsung konseling kok, apabila merasakan suatu gejala tertentu. Satu Persen di sini bakal hadir dengan tulus buat memberikan opini pertama dan kedua buat kalian. Intinya jangan sampai self-diagnosis, ya!

So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini ngebantu kalian buat dapet pencerahan. Sampai jumpa lagi!

Referensi:

Akbar MF. Analisis Pasien Self-diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. 2019

The Issues and Risks of Self-Diagnosis

https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Read More