putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

pada

judi

Strategi HR untuk Mengatasi Penurunan Kualitas Kerja: Fokus pada Kesehatan Mental

Di era yang serba cepat ini, penurunan kualitas kerja karyawan menjadi isu penting yang perlu diperhatikan. Berbagai tanda dan gejala dapat mengindikasikan adanya penurunan kualitas kerja, yang meliputi:

  1. Produktivitas Menurun dan Kesalahan Meningkat: Karyawan yang kelelahan seringkali mengalami penurunan efisiensi dan mulai membuat lebih banyak kesalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan yang mempengaruhi konsentrasi dan akurasi dalam bekerja.
  2. Kurangnya Keterlibatan: Karyawan yang terbebani kerja dapat kehilangan rasa puas dari pencapaian kerja dan menjadi tidak tertarik dengan pekerjaan mereka. Kondisi ini sering kali dikaitkan dengan kelelahan mental yang berkelanjutan.
  3. Masalah Kesehatan Mental dan Fisik: Karyawan yang bekerja terlalu keras dapat mengalami stres, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya, serta masalah kesehatan fisik seperti kelelahan dan burnout.
  4. Praktik Manajemen yang Buruk: Komunikasi yang tidak efektif, kurangnya dukungan, dan micromanagement dapat menimbulkan ketidakpercayaan antara karyawan dan manajemen, mengakibatkan penurunan kepuasan kerja dan keterlibatan karyawan.
  5. Kondisi Kerja yang Buruk: Pencahayaan yang tidak memadai, kebisingan, suhu, dan kualitas udara yang buruk dapat berdampak negatif pada produktivitas, kepuasan kerja, dan kesejahteraan.
  6. Beban Kerja dan Tuntutan Pekerjaan yang Tinggi: Ketika karyawan menghadapi tenggat waktu yang ketat atau tuntutan kerja yang tinggi, hal ini dapat menciptakan tekanan dan stres, yang mengarah pada penurunan motivasi dan kinerja.
  7. Kurangnya Sumber Daya: Ketika karyawan tidak memiliki sumber daya yang diperlukan, seperti peralatan atau staf, untuk menyelesaikan pekerjaan mereka secara efektif, hal ini dapat menyebabkan frustrasi dan menurunkan kepuasan kerja.

Sangat penting bagi para pengusaha untuk mengidentifikasi dan mengatasi tanda-tanda penurunan kualitas kerja ini untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang mendukung kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan.

Untuk memahami lebih dalam tentang fenomena ini, kita perlu menganalisis penyebab-penyebab yang mendasari penurunan kinerja, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Analisis Penyebab Penurunan Kinerja

Setelah mengidentifikasi tanda-tanda penurunan kualitas kerja, penting untuk menganalisis penyebab-penyebab yang mendasarinya. Berikut adalah beberapa faktor umum yang dapat menyebabkan penurunan kinerja di tempat kerja:

  1. Kurangnya Pengetahuan atau Keterampilan: Karyawan mungkin mengalami kesulitan jika mereka kekurangan pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan tugas pekerjaan mereka.
  2. Ekspektasi yang Tidak Jelas atau Tidak Realistis: Jika karyawan memiliki ekspektasi yang tidak jelas atau tidak realistis tentang tugas pekerjaan mereka atau tujuan proyek, hal ini dapat menyebabkan masalah kinerja.
  3. Kurangnya Motivasi: Motivasi yang rendah dapat menyebabkan masalah kinerja yang berkelanjutan, mempengaruhi kemampuan karyawan untuk melakukan tugas secara efektif.
  4. Kesesuaian Pekerjaan: Terkadang, pekerjaan itu sendiri mungkin tidak cocok untuk karyawan, yang mengarah pada masalah kinerja.
  5. Masalah Pribadi: Kondisi pribadi yang sulit, seperti tantangan kesehatan, masalah hubungan, atau gangguan eksternal, dapat mempengaruhi kinerja karyawan.
  6. Kurangnya Sumber Daya: Kekurangan waktu, uang, personel, atau perlengkapan untuk menyelesaikan tugas dapat menghambat kinerja karyawan.
  7. Kondisi Kerja: Faktor-faktor seperti ergonomi yang buruk, ruang kerja yang berantakan, notifikasi berlebihan, kebisingan, dan manajemen waktu yang buruk dapat mempengaruhi konsentrasi karyawan dan, akibatnya, kinerja mereka.

Mengatasi penyebab-penyebab penurunan kinerja ini sangat penting untuk menciptakan rencana perbaikan kinerja yang efektif dan mendukung karyawan dalam mencapai kinerja terbaik mereka.

Dalam konteks ini, penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi dapat mempengaruhi kinerja karyawan, yang akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi

Konsep keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi merujuk pada keseimbangan antara tanggung jawab profesional dan kehidupan pribadi seseorang. Mencapai keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi yang sehat sangat penting untuk kesejahteraan fisik, emosional, dan mental, serta untuk kesuksesan karier. Berikut adalah beberapa wawasan kunci dari hasil pencarian yang disediakan:

  1. Mendefinisikan Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi: Keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi melibatkan prioritas yang sama antara tuntutan karier dan kehidupan pribadi. Ini adalah keadaan keseimbangan di mana individu berusaha sukses secara profesional sambil menjalani kehidupan pribadi yang memuaskan.
  2. Tantangan dan Manfaat: Mencapai keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi yang baik dapat menjadi tantangan karena tuntutan budaya kerja modern. Namun, hal ini menawarkan banyak manfaat, termasuk pengurangan stres, risiko burnout yang lebih rendah, dan rasa kesejahteraan yang lebih besar.
  3. Integrasi Kerja dan Kehidupan: Konsep integrasi kerja dan kehidupan telah mendapatkan popularitas, menekankan pada pencampuran tanggung jawab pribadi dan profesional. Ini mengakui bahwa kehidupan kerja dan pribadi tidak selalu terpisah dan berbeda, dan mendorong pendekatan yang lebih holistik terhadap kehidupan.
  4. Pendekatan Individualisasi: Keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi terlihat berbeda bagi setiap orang, karena merupakan negosiasi konstan tentang bagaimana dan di mana individu menghabiskan waktu mereka. Ini melibatkan penentuan prioritas terkait kerja dan kehidupan pribadi berdasarkan keadaan dan tanggung jawab individu.
  5. Proses Berkelanjutan: Mencapai keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi bukanlah pencapaian satu kali, melainkan siklus berkelanjutan dari mengevaluasi kembali perasaan dan prioritas yang berkembang, dan menyesuaikan pilihan kerja dan kehidupan sesuai.

Secara keseluruhan, keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi adalah konsep yang dinamis dan individualisasi yang melibatkan prioritas antara tuntutan pribadi dan profesional untuk mencapai kesejahteraan dan kesuksesan secara keseluruhan. Ini memerlukan penilaian dan penyesuaian berkelanjutan untuk mempertahankan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Langkah-Langkah Menuju Pemulihan Kualitas Kerja

Untuk memulihkan kualitas kerja, pertimbangkan untuk menerapkan langkah-langkah berikut:

  1. Berpegang Teguh pada Standar Tertinggi: Berkomitmen dan bertekad untuk melakukan yang terbaik, menetapkan standar tinggi untuk pekerjaan Anda dan bertanggung jawab atasnya.
  2. Hindari Multitasking: Fokus pada satu tugas pada satu waktu untuk memastikan konsentrasi yang lebih baik dan peningkatan kualitas.
  3. Tetapkan Tujuan yang Jelas dan Dapat Dicapai: Tetapkan tujuan yang spesifik, terukur, dan dapat dicapai untuk setiap tugas untuk membimbing pekerjaan Anda dan mempertahankan motivasi.
  4. Batasan Gangguan: Minimalkan gangguan dan interupsi dengan menciptakan lingkungan kerja yang fokus.
  5. Tinjau Kualitas Kerja Secara Berkala: Terapkan sistem tinjauan formal untuk menilai dan meningkatkan kualitas kerja, serta mengatasi masalah dengan segera.
  6. Sediakan Sumber Daya yang Memadai: Pastikan karyawan memiliki alat, sumber daya, dan dukungan yang diperlukan untuk melakukan tugas mereka secara efektif.
  7. Dorong Komunikasi Terbuka: Kembangkan budaya komunikasi terbuka, memungkinkan karyawan untuk mendiskusikan masalah atau kekhawatiran terkait kualitas kerja.
  8. Delegasikan Tugas Secara Efektif: Berikan tugas kepada anggota tim yang paling cocok, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan mereka.
  9. Prioritaskan Perawatan Diri dan Keseimbangan Kerja-Kehidupan: Dorong karyawan untuk mempertahankan keseimbangan yang sehat antara kehidupan profesional dan pribadi mereka, mempromosikan pengurangan stres dan kesejahteraan secara keseluruhan.
  10. Minta Umpan Balik dan Terus Meningkatkan: Dorong karyawan untuk meminta umpan balik dari rekan dan klien, dan gunakan umpan balik ini untuk terus meningkatkan kualitas kerja.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, Anda dapat bekerja menuju pemulihan kualitas kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan efisien.

Kesimpulan dan Tindakan Selanjutnya

Kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga organisasi tempat mereka bekerja. Di sinilah peran penting dari program-program seperti Speaking Engagement Mental Health masuk. Program ini dirancang untuk membantu organisasi dalam memahami dan mengatasi isu-isu kesehatan mental di tempat kerja, serta memberikan dukungan yang diperlukan kepada karyawan.

Melalui program Speaking Engagement Mental Health, para ahli di bidang kesehatan mental akan berbagi pengetahuan dan strategi untuk mengatasi tantangan kesehatan mental di tempat kerja. Program ini mencakup berbagai topik, mulai dari cara mengidentifikasi tanda-tanda stres dan kecemasan di tempat kerja, strategi untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, hingga teknik membangun resiliensi dan pemulihan bagi karyawan.

Life Skills mengundang Anda untuk menjadi bagian dari solusi ini. Dengan mengikuti program Speaking Engagement Mental Health, Anda tidak hanya akan membantu karyawan Anda dalam menghadapi tantangan kesehatan mental, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja di organisasi Anda. Program ini merupakan investasi berharga untuk masa depan perusahaan dan kesejahteraan karyawan Anda.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi satu.bio/satumitra-igls. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk membuat perubahan positif di tempat kerja Anda dan membantu karyawan Anda mencapai potensi terbaik mereka.

Mari bersama-sama kita bangun lingkungan kerja yang tidak hanya produktif tetapi juga mendukung kesehatan mental karyawan. Karena kesejahteraan karyawan adalah kunci sukses organisasi.

Request Pelatihan SDM Satu Persen x Life Skills ID

Untuk Perusahaan, NGO dan Pemerintahan:

+62 882-9762-5596 (Margareth, Whatsapp)

Untuk Organisasi dan Kemahasiswaan:

+62 851-7317-1568 (Sheila, Whatsapp)

Referensi

Australian Human Rights Commission. (2010). Workers with Mental Illness: a Practical Guide for Managers.

LinkedIn. (2023). A Manager’s Guide to Improving Mental Health in the Workplac

World Health Organization. (2022). Guidelines on mental health at work.

LinkedIn. (2023). Mental Health in the Workplace: A Guide for HR Professionals.

PMC – NCBI. (2023). Organizational Best Practices Supporting Mental Health in the Workplace.

FAQ

  1. Apa itu keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, dan mengapa itu penting?
  2. Bagaimana cara mengidentifikasi penurunan kualitas kerja pada karyawan?
  3. Apa saja penyebab umum penurunan kinerja di tempat kerja?
  4. Bagaimana cara menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental?
  5. Apa langkah-langkah untuk memulihkan kualitas kerja yang menurun
  6. Bagaimana cara meningkatkan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi
  7. Apa peran HR dalam mengatasi masalah kesehatan mental di tempat kerja
  8. Bagaimana cara mengukur efektivitas program kesehatan mental di tempat kerja?
  9. Apa manfaat dari pelatihan kesehatan mental di tempat kerja?
  10. Bagaimana cara mendukung karyawan yang mengalami masalah kesehatan mental?
Read More
judi

Mengenal Sandwich Generation dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

Definisi, Penyebab dan Dampak Generasi Sandwich pada kesehatan mental
Satu Persen – Apa Itu Generasi Sandwich?

Kamu pernah makan roti sandwich? Makanan dengan isian daging, sayur, telor, dan saus yang kemudian diapit dua buah roti. Rasanya enak banget untuk nemenin sarapan dengan secangkir teh. Tapi, kalau sandwich generation, kamu pernah dengar, nggak?

Sandwich Generation
Cr: Google, spongebob sandwich

Yup, ternyata ada loh, istilah sandwich generation atau generasi sandwich. Istilah ini ditujukan untuk suatu fenomena dimana seseorang diapit oleh kebutuhan dua generasi sekaligus.

Hah gimana tuh maksudnya?”

Nah, di artikel kali ini, bersama gue Zahra, kita akan kupas tuntas apa itu sandwich generation! Mulai dari definisi, ciri-ciri hingga dampaknya. Baca sampai akhir, ya!

Apa yang Dimaksud Generasi Sandwich?

Sandwich generation atau generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh A. Miller, pada 1981. Seorang profesor sekaligus direktur praktikum di Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS). Istilah ini dipakai dalam jurnalnya yang berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging”.

Nah, generasi sandwich dapat diartikan sebagai sebuah fenomena dimana seseorang harus menanggung kebutuhan, terutama kebutuhan finansial dari generasi atas dan generasi bawah. Generasi atas yaitu orang tua mereka dan generasi bawah yaitu anak-anak mereka. Seperti isian daging dalam roti sandwich yang dihimpit dua roti, generasi sandwich juga terhimpit oleh kebutuhan dua generasi yang berbeda.

Jadi secara sederhana, kamu yang berada di generasi sandwich dituntut untuk harus menghidupi dan mencukupi kebutuhan orang tua kamu sekaligus anak-anak kamu. Bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi juga kebutuhan kesehatan dan kebutuhan penting lainnya.

Perawatan untuk orang tua yang sudah mulai menurun kesehatannya karena faktor usia, juga kebutuhan tumbuh kembang si kecil. Karenanya, generasi sandwich biasanya ada pada middle age, atau orang-orang yang berusia 35-54 tahun.

Kok Bisa sih, Ada Generasi Sandwich?

Umumnya, generasi sandwich terjadi secara turun-temurun. Jadi ketika orang tua sudah terjebak dalam generasi sandwich, bisa jadi anaknya besok juga akan terjebak dalam situasi tersebut. Hal ini sering juga disebut sebagai siklus lingkaran generasi sandwich.

Masa muda dan produktif seseorang yang harus membiayai dua generasi sekaligus membuat mereka sering lupa dan kesusahan menyiapkan dana untuk masa tua. Oleh karena itu, mau tidak mau akan berdampak pada kebutuhan masa tuanya nanti yang harus ditanggung anaknya dan situasi ini terulang terus-menerus.

Di satu sisi, generasi sandwich juga terjadi karena kurang siapnya seseorang dalam mempersiapkan masa depan. Mempersiapkan dalam hal ini termasuk mengatur keuangan, pengeluaran, dan pemasukan untuk masa depan. Minimnya pengetahuan terkait asuransi kesehatan, jaminan hari tua, atau investasi untuk passive income juga menjadi faktor penyebab generasi sandwich ini.

Ciri-ciri Generasi Sandwich

Carol Abaya, seorang Aging dan Elder Care Expert (seniorliving.org) membagi ciri-ciri generasi sandwich yang dilihat dari perannya menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. The Traditional Sandwich Generation

Generasi ini berisi orang dewasa yang berusia 40-50 tahun. Mereka diapit antara kebutuhan orang berusia lanjut dan anak-anak yang masih membutuhkan bantuan finansial.

2. The Club Sandwich Generation

Generasi ini berisi orang dewasa yang berusia 30-60 tahun, Mereka diapit antara orangtua dan anak, serta cucu (jika sudah punya) atau nenek dan kakek (jika masih hidup).

3. The Open Faced Sandwich Generation

Generasi ini berisi siapa pun (yang tidak profesional) yang terlibat dalam perawatan lansia.

Terlihat begitu berat ya, jika melihat definisi dari masing-masing perannya. Seseorang harus menanggung beban dan mengesampingkan keinginan dirinya sendiri. Hal tersebut tak jarang membuat generasi sandwich rentan mengalami stres.

Survey di Amerika Serikat pada tahun 2007 bahkan memberikan hasil bahwasanya generasi sandwich mengalami tingkat stres lebih tinggi. Hal ini dikarenakan mereka dituntut untuk menyeimbangkan peran dalam perawatan anak dan juga orangtua mereka

Dampak bagi Generasi Sandwich

Selain mudah stres, beratnya beban yang harus ditanggung generasi sandwich terkadang membuat mereka menjadi kelelahan dan rentan mengalami gangguan mental, loh. Gangguan mentalnya seperti apa saja, sih?

1. Burnout (Kelelahan Fisik dan Mental)

Menghidupi orang tua dan anak-anaknya sekaligus tentu mengharuskan untuk bekerja super ekstra karena kebutuhan bertambah dua kali lipat. Hal tersebut tentu dapat mengakibatkan kelelahan fisik.

Bisa jadi jam tidur harus berkurang karena mengambil kerja tambahan demi pemasukan bertambah. Pulang larut malam untuk ambil lembur, atau bangun lebih pagi untuk pekerjaan tambahan.

Fisik yang diforsir setiap hari tentu akan merasa capek. Ibarat mesin nih, kalau dipakai terus-terusan dan super ekstra, juga bakalan panas sendiri.

burnout
cr: id.pinterenst.com

Di satu sisi, tentu mentalnya juga akan lelah. Orang-orang yang terjebak pada generasi sandwich hanya memiliki sedikit waktu untuk bersosialisasi karena sehari-hari waktunya habis untuk bekerja. Padahal tak jarang hasil jerih payahnya hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri.

Hal itu tentu mengurangi rasa puas setelah bekerja dan sulit meluapkan emosi atau refreshing bersama lingkungan sekitar.

2. Perasaan Bersalah

Meski sudah bekerja keras, perasaan bersalah juga sering dirasakan loh, oleh generasi sandwich. Perasaan ini muncul biasanya ketika mereka belum mampu memenuhi kebutuhan orang tua atau anak-anaknya secara maksimal. Mereka merasa harus bertanggung jawab atas semua keinginan orang tua dan anak-anaknya sehingga ketika ada satu dua yang belum bisa dipenuhi, perasaan bersalah akan muncul dan berkecamuk.

sandwich generation
cr: id.pinterest.com

Perasaan bersalah ini sebenarnya jika dibiarkan akan berbahaya dan mengganggu kesehatan mental. Mereka akan mudah menyalahkan diri sendiri dan belum bisa menghargai apa yang sudah ia kerjakan. Perasaan bersalah membuat seseorang mudah insecure dan sulit untuk mencintai diri sendiri.

3. Merasa khawatir terus-menerus

Sama seperti perasaan bersalah yang mudah hadir, generasi sandwich juga mudah merasa khawatir bahkan terus-menerus. Kekhawatiran akan masa depan orangtua dan anak-anaknya, dan yang pasti diri mereka sendiri.

Khawatir hasil kerjanya belum cukup membiayai kesehatan orang tua, atau khawatir pendidikan yang diberikan ke anak-anaknya belum maksimal karena keterbatasan biaya. Generasi sandwich juga sering khawatir sampai kapan mereka harus berada pada situasi seperti ini.

generasi sandwich - overthinking
Cr: knowyourmeme.com

Perasaan khawatir yang terus-menerus akan menyebabkan kecemasan berlebihan. Kecemasan ini pun jika diabaikan lama-kelamaan akan memuncak dan mengakibatkan depresi. Perasaan ini dapat dikurangi dengan membagi beban kepada orang lain. Baik dengan bercerita dengan teman sebaya atau sesama generasi sandwich, atau pun dengan keluarga besar mereka.

Baca Juga : Kecemasan, Wajar Gak Ya? Yuk Kenalan!

So, mulai dari sekarang, kita harus pandai mengatur keuangan agar tidak menjadi penyebab anak kita nanti terjebak dalam generasi sandwich. Pentingnya tabungan untuk hari tua dan passive income bisa loh, mulai kamu dipertimbangkan sejak dini.

Baca Juga: Cara Mengelola Keuangan Pribadi (Financial Plan)

Nah, buat kamu nih yang saat ini ternyata sedang terjebak di sandwich generation, first thing first: Bersyukur! Bersyukur karena dipilih Tuhan dan diberi kekuatan serta rezeki untuk bisa menghidupi dua generasi sekaligus. Keren banget nggak sih, berarti?

Dan, jangan pernah ragu untuk berbagi cerita tentang kehidupan kamu ketika sedang merasa berat. Cara ini bisa mengurangi potensi stres yang timbul akibat kerja keras dan beban yang kamu alami. Dengan berbagi, hati akan menjadi lebih lapang dan kembali terisi energi untuk beraktivitas.

“Tapi, harus cerita ke siapa?”

Cerita ke Satu Persen, dong! Karena Satu Persen menyediakan layanan konseling untuk kamu yang ingin berkonsultasi perihal berbagai permasalahanmu. Terlebih ketika dampak mental dari generasi sandwich sudah mulai kamu rasakan dan sangat mengganggu aktivitas sehari-harimu. Fix deh, kamu harus coba konsultasi ke Satu Persen. Untuk daftarnya?  KLIK LINK DISINI, YA! Kalau masih ragu, coba deh kamu ikut tes konsultasi dulu.

Terakhir, Gue Zahra, Blog Writer Satu Persen, sampai jumpa di artikel selanjutnya ya! Stay happy and healthy, Perseners!

Referensi

  1. Carol Abaya. (Januari, 1999). A Survival Course for the Sandwich Generation. New York. www.sandwichgeneration.com
  2. Dorothy A. 1981. MillerThe ‘sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging. Oxford University Press
Read More