putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

karena

judi

Mengenal Rasa Takut Jatuh Cinta karena Trauma

Tanda-tanda Fobia Jatuh Cinta
Satu Persen – Philophobia: Mengenal Rasa Takut Jatuh Cinta karena Trauma

Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

Ada pepatah bilang: “Tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang.” Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen!

Semakin bertambahnya umur, setiap orang pasti akan mengalami namanya jatuh bangun dalam kehidupan. Salah satu contohnya adalah jatuh cinta. Jatuh cinta dapat dikatakan sebagai salah satu momen paling indah dan bahagia bagi setiap manusia, tetapi sebaliknya, bisa juga menjadi momen paling menakutkan.

Dalam hal tertentu, trauma akan jatuh cinta bisa dibilang hal sangat wajar sekali, loh. Akan tetapi Perseners, kalau lo takut jatuh cintanya sudah pada tahap yang sangat berlebihan berarti patut dicurigai, nih. Karena bisa jadi lo mengalami yang namanya Philophobia atau bahasa kerennya sih fobia jatuh cinta.  

Nah, di artikel kali ini gue akan membahas seputaran apa itu philophobia dan apa aja sih tanda-tandanya. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo, ya. Selamat membaca!

So, apa sih itu Philophobia?

Philophobia adalah rasa takut akan jatuh cinta atau menjalin hubungan dengan orang lain. Banyak orang yang menganggap jatuh cinta adalah suatu hal yang sangat indah untuk dinikmati dan dirasakan. Namun, pernyataan tersebut dapat berbeda jika penderita fobia jatuh cinta yang mengatakannya. Mereka beranggapan, jatuh cinta adalah sesuatu ketidakmungkinan secara emosional.

Menurut Psikolog Ikhsan Bella Persada, ia menjelaskan bahwa apapun fobianya, semua itu disebabkan oleh pengalaman traumatis dari suatu peristiwa. Dalam kasus philophobia, itu berarti si penderita pernah memiliki kisah cinta yang pahit.

Philophobia - Takut Jatuh Cinta
Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay.com

“Dalam kasus philophobia, penderita mungkin pernah mengalami rasa sakit putus cinta ataupun jatuh cinta,” kata Ikhsan. Perceraian orang tua, menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tua, dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga sebelumnya juga dapat menyebabkan rasa takut jatuh cinta atau philophobia.

Baca juga: Apakah Semua Orang Pasti Punya Phobia?

Lalu, apa aja sih penyebab Philophobia itu?

Menurut Scott Dehorty, Direktur Eksekutif di Maryland House Detox, Delphi Behavioural Health Group, philophobia pada umumnya lebih sering terjadi kepada orang yang memiliki trauma atau luka masa lalu. Contohnya seperti orang-orang yang menyaksikan perceraian orang tua mereka di masa kanak-kanak, mengalami segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan di rumah.

Trauma inilah yang biasanya membuat mereka enggan mengembangkan hubungan atau berhubungan dekat dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki rasa takut kalau orang tersebut akan melakukan hal yang sama dengan mereka.

Orang-orang ini akhirnya mengembangkan rasa takut yang menyebabkan mereka menghindari hubungan untuk menghindari rasa sakit. Namun, semakin seseorang menghindari sumber ketakutannya, maka semakin kuat pula rasa ketakutannya tersebut.

Kemudian, bagaimana cara kita tahu kalau orang tersebut mengalami gejala Philophobia?

Harus ditekankan terlebih dahulu bahwa philophobia ini bukanlah suatu ketakutan akan jatuh cinta yang biasa atau wajar, melainkan sudah pada tahap dimana pengidapnya merasa bahwa jatuh cinta adalah sebuah hal yang sangat menakutkan di kehidupannya.

Jadi, bukan hanya kekhawatiran biasa untuk jatuh cinta, tapi sudah sampai ke tahap takut. Selain itu, fobia ini sangat memengaruhi perasaan sehingga dapat mengganggu kehidupan pengidapnya.

Gejala philophobia dapat bervariasi dari orang ke orang. Tetapi secara umum, orang yang memiliki fobia jatuh cinta mungkin mengalami gejala fisik dan emosional berikut ketika mereka berpikir tentang cinta:

  1. Perasaan takut atau panik yang intens atau sangat berlebihan
  2. Menghindari untuk memiliki perasaan emosional apapun terhadap lawan jenis
  3. Mudah berkeringat
  4. Detak jantung meningkat dengan cepat
  5. Sulit untuk bernapas
  6. Sulit untuk melakukan aktivitas
  7. Merasa mual

Pengidapnya mungkin menyadari bahwa ketakutan mereka ini tidak wajar, tetapi mereka masih tidak dapat mengendalikannya.

Philophobia bukanlah gangguan kecemasan sosial, meskipun orang dengan philophobia juga dapat memiliki gangguan tersebut. Perbedaannya adalah bahwa orang dengan gangguan kecemasan sosial memiliki kecemasan yang ekstrim dalam situasi sosial tertentu, tetapi philophobia mencakup berbagai konteks sosial.

Baca juga: Social Anxiety Disorder: Gangguan Cemas, Gejala, dan Penangannya

Terus, bagaimana cara mengatasi philophobia?

Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi philophobia. Cara mengatasinya pun bervariasi, tergantung dari tingkat keparahan fobia ini sendiri. Pilihannya antara lain melakukan terapi, obat-obatan dan perubahan pola hidup. Jadi, yuk kita bahas satu-persatu!

1. Psikoterapi

Psikoterapi philophobia
Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay.com

Bentuk penanganan pertama yang dapat dilakukan untuk pengidap philophobia adalah dengan melakukan psikoterapi. Psikoterapi yang biasanya dilakukan adalah dengan menggunakan terapi khusus kognitif atau cognitive behavioural therapy (CBT) yang sudah terbukti efektif untuk mengatasi ketakutan yang cukup parah.

Dalam penanganan menggunakan CBT ini, terapis akan melakukan semua yang terbaik untuk membantu pengidap mengidentifikasi dari mana sumber ketakutan tersebut, mengubah pikiran, keyakinan, dan reaksi negatif terhadap sumber fobia. Jadi sangat perlu diingat loh, Perseners, pentingnya mengidentifikasi sumber ketakutan dan mencari tahu apakah dari perasaan terluka atau trauma adalah penyebab ketakutan.

2. Pengobatan

Philophobia - Obat
Gambar oleh Stevepb dari Pixabay.com

Dalam beberapa penanganan trauma yang cukup berat, pemberiaan obat-obatan yang tepat dan efektif dapat memberikan peran yang penting dalam perawatan kepada pengidap. Dalam beberapa kasus, dokter mungkin meresepkan antidepresan jika masalah kesehatan mental lainnya teridentifikasi. Obat-obatan umumnya digunakan dalam kombinasi dengan terapi.

Penting untuk diketahui bahwa perawatan ini tidak langsung berhasil pada satu sesi terapi dan tetap memerlukan perawatan lebih lanjut dengan terapis. Terapis akan melihat perawatan mana yang sesuai dengan kebutuhan pengidap. Terapis dan pasien juga harus bekerja sama untuk menentukan rencana perawatan mana yang paling efektif.

3. Perubahan gaya dan pola hidup

Philophobia - Perubahan pola hidup
Gambar oleh Borjah dari Pixabay.com

Selain menggunakan dua cara sebelumnya, perubahan pola hidup juga sangat membantu dalam menangani trauma yang cukup parah. Dokter merekomendasikan perubahan gaya hidup, seperti olahraga, teknik relaksasi, dan strategi mindfulness untuk mengatasi philophobia.

Perlu diingat ya guys, philophobia bukanlah sebuah fobia yang sangat mematikan dan harus ditakutkan karena sewajarnya pasti setiap orang pernah mengalaminya semasa hidupnya. Tapi, kalau lo merasa lo atau teman-teman lo mengalami beberapa gejala yang udah gue sebutkan diatas tadi, lo bisa segera konsultasikan ke psikolog supaya dapat cepat ditangani karena gangguan ini tentu sangat mengganggu kehidupan sosial, bukan?

Oh iya, lo juga bisa berkonsultasi dengan psikolog, loh. Salah satunya dengan Psikolog dari Satu Persen yang bisa lo coba dengan cara klik di sini. Di Satu Persen, lo akan mendapatkan 1 jam konseling dari psikolog, tes psikotes, asesmen pra-konseling, lembar kerja, dan tentu saja terapi.

Psikolog Satu Persen juga memiliki lisensi resmi loh guys, jadi jangan khawatir. Di Satu Persen juga memiliki banyak testimoni yang bisa lo baca di website-nya. Jangan biarkan Philophobia mempengaruhi hidup lo selamanya, ya.

Jika lo masih ragu untuk mengikuti layanan konseling, lo bisa mencoba tes gratis dari kita terlebih dahulu. Dengan tes ini, lo akan tahu layanan konsultasi mana yang terbaik untuk masalah lo. Caranya gampang banget, lo cukup klik aja di sini.

Satu Persen mungkin belum punya video YouTube yang membahas fobia secara umum, tapi lo bisa kepoin lebih dalam tentang salah satu fobia yang kayaknya udah cukup sering lo denger. Betul, tentang social phobia atau fobia terhadap situasi sosial. Yuk, cari tahu lewat video berikut!

YouTube Satu Persen – Mengenal Kecemasan Sosial

Sekian dulu tulisan dari gue, semoga informasinya bermanfaat, ya! Buat kalian yang lagi menderita fobia terhadap jatuh cinta, semoga bisa cepat pulih dan gak ngerasa takut lagi buat jatuh cinta karena jatuh cinta itu berjuta rasanya. 🙂

By the way, punya fobia bukan berarti lo gak bakalan bisa berkembang, kok! Bareng kita, yuk berkembang sedikit demi sedikit, seenggaknya Satu Persen setiap hari menuju #HidupSeutuhnya.

Gue Dimsyog dari Satu Persen, selamat mencoba untuk menjadi sahabat dan teman terbaik bagi diri lo sendiri. Thanks!

Referensi:

Fadil, dr. R. (2020, July 19). Kenali lebih Dekat Philophobia Atau Fobia Jatuh Cinta. halodoc. Retrieved September 29, 2021, from https://www.halodoc.com/artikel/kenali-lebih-dekat-philophobia-atau-fobia-jatuh-cinta.

Hofmann, S. G., & Otto, M. W. (2008). Practical clinical guidebooks series.Cognitive-behavior therapy for social anxiety disorder: Evidence-based and disorder-specific treatment techniques. Routledge/Taylor & Francis Group.

Read More
judi

Sakit karena Sugesti, Kenali Gangguan Somatisasi dan Cara Mencegahnya

Perseners, coba deh bayangin, ketika lo lagi ngerasain sakit, tapi saat periksa, dokter bilang kalau apa yang lo rasain itu nggak bener. Terus, lo bersikukuh buat meyakinkan rasa sakit itu. Tapi lagi-lagi nggak disetujui sama dokter dan berakhir membuat lo frustasi sendiri sama apa yang lo rasain.

Bentar-bentar, ngeri nggak sih kalau sampai kejadian kayak gitu?

Gangguan somatisasi
Cr: Spongebob.fandom.com

Nah, di dunia psikologi, ada loh istilah yang dinamakan gangguan somatisasi. Gangguan ini membuat seseorang menganggap bahwa dirinya sedang sakit, padahal sebenarnya itu hanya sugesti dari pemikiran mereka. Orang dengan gangguan somatisasi benar-benar merasakan sakit pada fisik mereka, tetapi sulit untuk dijelaskan secara medis.

“Hah? Kok bisa, ya?”

Nah, artikel kali ini gue akan menjelaskan tentang gangguan somatisasi. Baca sampai akhir, ya!

Apa itu Gangguan Somatisasi?

Gangguan somatisasi merupakan gangguan dengan gejala fisik tanpa adanya penyakit secara medis. Ketika seseorang mengalami gangguan somatisasi, maka mereka akan mudah mengalami nyeri, sesak napas, atau lemah saat stres.

Pada mulanya, gangguan somatisasi disebut sebagai Sindrom Briquet pada tahun 1859. Namun sekarang DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) menyebutnya sebagai gangguan somatisasi atau Somatization Disorder.

Bagaimana Gejala Somatisasi?

Gejala somatisasi muncul dari alam bawah sadar, sehingga perwujudan dari dampaknya tergantung pada apa yang sedang ada di dalamnya. Keluhan fisik berulang (biasanya setidaknya selama 6 bulan) yang dialami oleh penderita somatisasi ada pada usia sebelum 30 tahun. Gangguan ini biasanya juga lebih banyak dialami pada wanita daripada laki-laki.

Gejala somatisasi dapat menyerang satu bahkan lebih dalam tubuh kita secara bersamaan, seperti nyeri kepala, nyeri perut, nyeri punggung, nyeri kaki, nyeri mata. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan somatisasi biasanya juga merasakan beberapa gejala, antara lain:

1. Merasa cemas yang berlebihan (Illness Anxiety Disorder)

Rasa cemas yang berlebihan timbul terhadap keluhan fisik yang seolah-olah dirasakan. Mereka akan merasa bahwa dirinya benar-benar sedang terkena penyakit dan menganggap hal tersebut sangat serius. Selain itu, seseorang dengan gangguan somatisasi sering merasa khawatir terhadap aktivitas fisik yang dilakukan dapat membahayakan tubuh mereka.

2. Gejala yang dirasakan tidak dapat dibuktikan secara medis

Seperti penjelasan dari pengertian gangguan somatisasi, penderita biasanya mengalami keluhan fisik namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya oleh pemeriksaan medis. Di samping itu, gejala-gejala ringan sering dianggap serius dan dicemaskan. Seperti ketika sakit kepala, dianggap sebagai sinyal tumor otak, atau sesak napas dianggap menunjukkan timbulnya asma.

3. Berulang kali memeriksakan kesehatan ke dokter

Rasa cemas dan khawatir terhadap keluhan fisik yang dialami, membuat penderita memeriksakan diri ke dokter. Namun saat dokter mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik saja, orang yang mengalami gangguan somatisasi akan denial atau menolak jawaban dokter tersebut, bahkan menganggap dokter tidak serius dengan gejala yang dialami.

Alih-alih mempercayai hasil periksa dokter, orang yang mengalami gangguan somatisasi akan mencoba untuk mencari dokter lain demi mendapat jawaban yang lebih memuaskan.

Gangguan somatisasi apabila dibiarkan akan membahayakan penderitanya. Hal ini dikarenakan rasa stres dan frustasi yang timbul tiap kali setelah memeriksakan diri ke dokter. Mereka akan merasa tidak puas jika tidak ada penjelasan fisik yang lebih baik untuk gejala yang dialami. Stres sering membuat seseorang menjadi lebih khawatir tentang kesehatan mereka, dan ini menciptakan lingkaran setan yang dapat bertahan selama bertahun-tahun.

Penyebab Gangguan Somatisasi

Secara umum, gejala fisik yang muncul akibat gangguan somatisasi dipicu oleh alam bawah sadar ataupun pikiran seseorang. Namun secara lebih detail, gangguan somatisasi juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

1. Dihadapkan oleh stres berat yang sulit untuk dihadapi

2. Mengalami kecemasan atau depresi

3. Faktor genetik, seperti sensitivitas berlebih mengenai sinyal-sinyal atau tanda-tanda ancaman

4. Kecenderungan memiliki pandangan atau kepribadian yang negatif

5. Adanya trauma di masa lalu

Cara Mencegah Gangguan Psikosomatis

Sebenarnya, nggak ada satu solusi konkret untuk mengatasi somatisasi seutuhnya. Hal ini karena somatisasi hadir akibat kondisi mental dan pikiran alam bawah sadar kita. Maka cara pertama adalah menerima dan menyadari terlebih dahulu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun jika sudah parah, penderita dapat melakukan Cognitive behavioral therapy (CBT) dengan terapis.

Tapi ada beberapa cara nih, yang bisa dijadikan usaha untuk meminimalisir terkena gangguan somatisasi, antara lain:

1. Belajar mengelola stres

Karena gangguan somatisasi salah satunya timbul akibat stres yang berat, maka salah satu cara mencegahnya adalah dengan mengelola stres itu sendiri. Mengelola stres memang bukan hal mudah dan nggak bisa dipelajari satu dua hari. Apalagi mengelola stres sangat bergantung pada masing-masing manusia yang sifatnya pun dinamis.

Baca juga: Belajar Mengelola Stres Untuk Hidup Lebih Bahagia

Tapi, poin penting yang bisa lo jadiin kunci untuk mengelola stres adalah lo bisa tau penyebab dari stres yang lo alami. Ketika lo tau nih penyebab lo merasa stres, lo juga bisa dengan mudah tau cara-cara alternatif mengurangi bahkan menghilangkan stres tersebut.

2. Menerapkan pola hidup sehat

Pola hidup sehat dapat membantu seseorang untuk menghindari stres dan mengatasi rasa cemas. Menerapkan pola hidup sehat dapat dilakukan sesederhana tidur yang cukup. Di samping itu juga dapat dilakukan dengan aktif bergerak dan berolahraga, maupun mengonsumsi makan-makanan sehat.

YouTube Satu Persen – Cara Hidup Lebih Sehat Menurut Psikologi

3. Berhubungan baik dengan orang terdekat

Berhubungan baik dengan orang terdekat amatlah penting sebagai sarana recharge diri. Terlebih orang terdekat dalam hidup yang tentu udah tau dong, gimana diri kita. Perasaan saling terbuka dengan orang terdekat akan mendorong untuk dapat menceritakan keluh kesah kehidupan secara terbuka. Di mana keluh kesah ini mungkin dapat menimbulkan stres. Feedback dari teman terdekat seperti saran dan penyemangat juga mampu untuk meredakan kecemasan.

Spongebob dan Patrick
Cr. Duniaku.com

4. Melakukan konsultasi dengan tenaga profesional

Ketika seseorang mengalami gangguan somatisasi dan memeriksakannya pada dokter fisik, tentu dokter akan mengarahkan kepada psikoterapis atau dokter jiwa untuk melakukan terapi. Namun sebelum ke langkah yang lebih besar, bisa loh Perseners melakukan konsultasi terlebih dahulu bahkan dengan online counseling. Tentu langkah awal ini akan lebih hemat biaya dan tenaga sebelum berkunjung ke dokter jiwa.

Kabar baiknya, Satu Persen punya layanan online konseling dengan berbagai paket yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan lo. Konseling online Satu Persen juga ditangani langsung oleh Psikolog lulusan S2 profesi psikolog klinis dewasa dan lo juga bisa dapetin terapi tertentu jika diperlukan.

Lo bisa klik di bawah ini ya, untuk cari tau lebih lengkap dan mendaftar!

CTA-Blog-Post-06-1-5

Kalau lo masih ragu apakah konseling adalah layanan yang tepat atau belum, lo boleh ikut tes konsultasi dulu sebelum memutuskan layanan mana yang bisa lo pilih.

Di akhir, gue Zahra Blog Writer Satu Persen, mau ngingetin kalian buat jangan pernah lupa istirahat seberapa sibuk pun aktivitas kalian. Salam #HidupSeutuhnya dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Referensi:

  1. Joel E. Dimsdale. 2020. Somatic Symptom Disorder. MD, University of California, San Diego.
  2. Brenda Goodman, MA. 2020. Somatic Symptom and Related Disorders retireved from Somatoform Disorders: Symptoms, Types, and Treatment (webmd.com)
  3. Somatic symptom disorder. American Psychiatric Association. https://www.psychiatry.org/psychiatrists/practice/dsm/educational-resources/dsm-5-fact-sheets.
  4. Honest Doc Editorial Team. 2019. Gangguan Somatisasi – Tanda, Penyebab, Gejala, Cara Mengobati. Retrieved from Gangguan Somatisasi Adalah? – Tanda, Penyebab, Gejala, Cara Mengobati | HonestDocs
Read More