putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Gak

judi

Kesehatan Mental Bisa Memengaruhi Kesehatan Fisik? Benar Gak Sih?

kesehatan mental memengaruhi kesehatan fisik
Satu Persen – Kesehatan Mental Memengaruhi Kesehatan Fisik

Hai Perseners, balik lagi sama aku Senja!

Dulu sebelum menjadi mahasiswa kesehatan masyarakat, aku selalu mengira kalau kesehatan fisik dan mental adalah suatu hal yang terpisah atau gak ada hubungannya. Tapi, ternyata dugaanku itu salah besar.

Kesehatan mental ternyata memengaruhi kesehatan fisik dan vice versa, kesehatan fisik juga meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, hari ini aku mau bahas topik mengenai kesehatan mental dan fisik serta hubungan antara keduanya.

So, buat informasi lengkapnya aku jelasin di bawah ini, ya!

Apa itu Kesehatan Mental?

healthy mind healthy body
Cr. brainstudy.info

Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup secara normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.

Kesehatan mental juga sering dimaknai sebagai suatu pengaruh positif yang ditandai dengan perasaan bahagia juga kemampuan menguasai lingkungan.

Seseorang yang mempunyai mental sehat akan mempunyai kapabilitas atau potensi buat menghadapi tantangan hidup secara maksimal, Perseners! Selain itu, mereka juga bisa membangun hubungan positif dengan orang lain. Namun, seringkali istilah kesehatan mental digunakan sebagai ungkapan gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, skizofrenia, bipolar dan lain-lain.

Padahal sebetulnya kesehatan mental tidak sama dengan gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental terjadi ketika seseorang tidak dapat memelihara kesehatan mental itu sendiri, Perseners!

Terdapat tiga komponen kesehatan mental, apa aja komponen-komponen itu?

1. Kesejahteraan emosional

Contoh kesejahteraan emosional adalah kebahagiaan, minat dalam hidup, dan kepuasan.

2. Kesejahteraan psikologis

Contoh kesejahteraan psikologis adalah mencintai diri sendiri, pandai mengelola tanggung jawab, memiliki hubungan personal yang baik dengan orang lain, dan bersyukur dengan kehidupan yang ada.

3. Kesejahteraan sosial

Kesejahteraan sosial mengacu pada peran untuk turut andil di dalam masyarakat  (kontribusi sosial), menjadi bagian dari suatu komunitas (integrasi sosial), percaya bahwa masyarakat menjadi tempat yang baik bagi semua orang (aktualisasi sosial), dan cara masyarakat bekerja sesuai dengan mereka (koherensi sosial).

Baca juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

Apa itu Kesehatan Fisik?

Kesehatan fisik adalah kemampuan tubuh untuk menjalankan fungsi tubuh secara efisien kemudian mempertahankan keoptimalannya dalam setiap kondisi. Mudahnya, kesehatan fisik dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh untuk melakukan tugas sehari-hari dan hidup secara nyaman.

Kesehatan fisik biasanya dipahami sebagai keadaan bebas dari penyakit atau kecacatan atau kesehatan dari sisi internal. Padahal kesehatan fisik juga berhubungan sama faktor eksternal, seperti partisipasi dalam berkegiatan sosial dan kemampuan tubuh menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan eksternal yang terus berubah.

Lalu Bagaimana Hubungan antara Kesehatan Mental dan Fisik?

mental health and physical health balance
Cr. brainstudy.info

Menurut Charles Goodstein seorang profesor klinis psikiatri di Langone School of Medicine New York University, perasaan dan pikiran kita akan memicu pelepasan sistem endokrin yang mengatur pelepasan hormon dan mempengaruhi sistem kerja organ tubuh seseorang.

Sebagai contoh orang yang mengidap stres akan menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen dan memiliki efek buruk terhadap reaksi imun, menyebabkan rentan terhadap infeksi pada gigi, akibatnya kesehatan gigi dan mulut bisa terganggu.

Kalau kalian pengen tau gimana kondisi kesehatan mentalmu, yuk cobain Tes Kesehatan Mental dari Satu Persen!

mental health physical health - kesehatan mental kesehatan fisik
Cr. www.nextlevelrecovery.com

Faktor kesehatan mental yang memengaruhi terjadinya kesehatan fisik adalah:

1. Genetika

Genetika membuat seseorang memiliki riwayat masalah kesehatan mental yang menimbulkan masalah kesehatan fisik.

2. Motivasi rendah

Adanya masalah kesehatan mental atau obat-obatan dapat berdampak pada rendahnya motivasi untuk merawat diri sendiri sehingga timbul masalah kesehatan fisik.

3. Kesulitan dengan konsentrasi dan perencanaan

Adanya masalah kesehatan mental berpengaruh pada konsentrasi dan perencanaan, seperti kesulitan untuk mengatur atau menghadiri pertemuan medis dengan dokter.

4. Kurangnya dukungan untuk mengubah perilaku tidak sehat

Tenaga ahli, seperti dokter atau psikolog serta orang di sekitar tidak memberi dukungan sosial karena merasa penderita mental tidak mampu membuat perubahan lebih baik untuk berperilaku sehat, seperti mengurangi minuman beralkohol atau berhenti merokok.

5. Jarang mendapatkan bantuan secara medis

Orang dengan gangguan mental cenderung tidak pernah mendapat pemeriksaan rutin khusus untuk melihat masalah kesehatan fisik, seperti tekanan darah, berat badan, dan kolesterol. Sehingga masalah kesehatan fisik tidak dapat terdeteksi.

Bagaimana Cara Menjaga Kesehatan Mental dan Fisik?

kesehatan mental kesehatan fisik
Cr. change.org

Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, Perseners! Menurut mentalhealth.org ada beberapa hal yang bisa kalian lakukan untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Yuk, simak di bawah ini!

1. Lakukan olahraga

Aktivitas fisik adalah cara efektif untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Penelitian menunjukkan bahwa melakukan olahraga melepaskan hormon endorfin di otak. Hormon endorfin berfungsi untuk mengurangi rasa sakit saat memicu perasaan positif pada seseorang.

Penelitian juga menyebutkan bahwa berjalan kaki selama 10 menit dapat meningkatkan kewaspadaan mental, energi, dan suasana hati.

Baca juga: Olahraga: Cara Ampuh Hilangkan Stres

2. Makan dengan seimbang

Makan dapat membuat mood atau suasana hati lebih positif. Makanan yang kita makan dapat memengaruhi perkembangan, pengelolaan dan pencegahan berbagai kondisi kesehatan mental termasuk depresi dan demensia.

3. Berhenti merokok

Merokok memiliki dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Banyak orang yang memiliki masalah kesehatan mental percaya bahwa merokok memberikan efek relaksasi untuk mengurangi gejala. Tetapi sebenarnya efek ini hanya berlangsung sebentar atau jangka pendek.

4. Buat janji temu dengan profesional

Lakukan pemeriksaan rutin dengan profesional. Kalian bisa ikutan konseling di Satu Persen dan berkonsultasi secara langsung dengan psikolog andal dan berpengalaman di bidangnya. Pokoknya tenang aja, karena Satu Persen akan setia buat dampingin kalian, Perseners! Satu Persen percaya bahwa kesehatan mental dan fisik itu faktor penting untuk kita bisa menjalani #HidupSeutuhnya.

Kalau kalian tertarik buat kepoin dan coba layanan konseling dari Satu Persen, kalian bisa langsung klik banner di bawah ini aja, ya!

CTA-Blog-Post-06-1-15

So, sekian dulu dari aku. Semoga artikel ini bermanfaat buat kalian semua, ya. Sampai jumpa lagi!

Referensi:

https://www.mentalhealth.org.uk/a-to-z/p/physical-health-and-mental-health

https://www.everydayhealth.com/emotional-health/connecting-dots.aspx

Koipysheva EA, Lebedinsky VY, Koipysheva MA, Lebedinsky ), Yu V, Koipysheva ). RPTSS 2018 International Conference on Research Paradigms Transformation in Social Science PHYSICAL HEALTH (DEFINITION, SEMANTIC CONTENT, STUDY PROSPECTS). 2018;

Tjahja I, Nainggolan O. Relationship Between Mental Health and Physical Activities with Dental and Oral Health. Bul Penelit Kesehat. 2019;47(2):135–42.

Galderisi S, Heinz A, Kastrup M, Beezhold J, Sartorius N. Toward a new definition of mental health. World Psychiatry. 2015;14(2):231–3.

Read More
judi

Cowok Gak Boleh ke Psikolog?

kesehatan mental bagi pria - cowok gak boleh ke psikolog?
Satu Persen – Kesehatan Mental bagi Pria

Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

Kalian tau gak sih, Perseners, survei yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018, dari seluruh dunia menunjukkan bahwa pria di mana pun merasa sulit untuk terbuka tentang kesehatan mental mereka. Dan karenanya, mereka secara signifikan lebih berisiko untuk mencoba melakukan bunuh diri daripada wanita.

Salah satu hal yang memperkuat alasan kenapa pria merasa sulit untuk terbuka tentang kesehatan mental mereka dibandingkan wanita karena adanya aib yang beredar di masyarakat, yaitu mengenai toxic masculinity. Salah satu aib yang mungkin lo ataupun gue sering dengar adalah “Cowok kok lemah?” “Cowok kok nangis?” dan sebagainya yang mana membentuk konstruksi pikiran bahwa sejatinya pria itu boys will be boys.  

Nah, karena lagi ngomongin pria dan kesehatan mental, nih. So, di artikel kali ini gue akan membahas tentang kesehatan mental di kalangan pria, khususnya soal aib. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo. Selamat membaca!

Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!

Baca juga: Apa Itu Kesehatan Mental?

Aib yang Dihadapi oleh Pria

stigma kesehatan mental pada pria
Sumber dari pixabay.com

Dalam laporan di tahun 2018, WHO menekankan bahwa aib seputar kesehatan mental adalah salah satu hambatan utama bagi orang-orang yang mengakui bahwa mereka sedang berjuang dan mencari bantuan. Tentu saja, stigmatisasi ini sangat terasa terutama pada pria.

“Digambarkan di berbagai media sebagai silent epidemic dan masalah kesehatan yang telah merayap ke dalam benak jutaan orang, dengan statistik yang mengerikan, kesehatan mental pada pria adalah masalah kesehatan di masyarakat yang sangat perlu diperhatikan.”

Maka, dimulailah sebuah penelitian dari The University of British Columbia (UBC), di Vancouver, Kanada, yang diterbitkan pada tahun 2016 di Canadian Family Physician Trusted Source. Penelitian tersebut menemukan kalau pemahaman yang udah tua banget soal gender, terutama di pria, menghambat pria mencari bantuan mengenai kesehatan mental.

Salah satu hal penting lainnya juga menunjukkan bahwa tidak mudah bagi pria untuk terbuka dengan rekan-rekan mereka tentang perjuangan masalah kesehatan mental. Membicarakan kesehatan mental bukanlah sesuatu yang cenderung muncul dengan mudah di lingkungan sosial tertentu, seperti saat membicarakan permainan sepak bola.

Beban dari Adanya Toxic Masculinity di Masyarakat

Tapi, bukan hanya meminta bantuan aja yang tampaknya diperjuangkan oleh pria. Penelitian telah menemukan bahwa beberapa pria juga mengalami kesulitan membangun hubungan sosial. American Psychological Association memiliki podcast tentang bagaimana maskulinitas sebenarnya dapat menjadi beban kesehatan mental.

Ketika lo berbicara tentang toxic masculinity, itu benar-benar bermuara pada bagaimana cara pria dibesarkan. Begitulah cara pria diajarkan untuk menjadi manusia yang kuat dan pendiam.”

Jika pria kurang bersedia untuk meminta bantuan, mereka akan terus mengalami gejala yang berkontribusi terhadap depresi, dan penggunaan narkoba sering kali merupakan strategi koping yang maladaptif. Ketika orang yang berjuang dengan depresi, kecemasan, dan kondisi kesehatan mental lainnya tidak merangkul sumber daya koping yang baik, mereka mungkin beralih ke alkohol dan obat-obatan lain sebagai cara untuk menghilangkan rasa sakit.

Masalahnya, bagaimana kita sebagai masyarakat mengubah persepsi pria tentang mencari bantuan sebelum mereka sampai ke titik itu?

Mengurangi Aib Tersebut

Banyak pria menjadi mangsa aib tersebut bahwa mereka harus cukup tangguh untuk menyelesaikan semua masalah mereka sendiri. Mereka khawatir bahwa dengan menunjukkan kerentanan, bahkan dalam kondisi fisik yang sakit pun, mereka mungkin akan kehilangan kekuatan mereka di hadapan orang lain.

“Akibatnya, mereka mungkin percaya bahwa mereka dapat memperbaiki masalah ini dengan cepat dan beralih ke yang berikutnya—dan mereka mungkin menyangkal bahwa ada masalah di dalam diri mereka,” kata Levin dari Yayasan Hazelden Betty Ford. Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi dan membantu hal itu adalah pertama-tama harus mengakhiri aib tersebut.

“Kita semua dapat mendorong lebih banyak transparansi seputar masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan zat,” kata Levin.

Tidak ada yang kebal terhadap stres. Berbicara dengan orang lain tentang bagaimana hal itu memengaruhi lo dapat menumbuhkan empati, persahabatan, dan dukungan yang semuanya melawan perasaan terisolasi di mana kecanduan dan masalah kesehatan mental dapat berkembang.

Masalah kesehatan mental yang tidak diobati dapat dengan cepat bermanifestasi menjadi penyakit fisik, terutama ketika orang mengobati diri sendiri dengan alkohol dan zat lain.

Kapan Waktunya untuk Meminta Bantuan?

Jika lo khawatir seseorang yang lo sayangi mungkin sedang berjuang, atau lo berpikir bahwa lo sendiri membutuhkan bantuan, Levin mengatakan untuk mencari tanda-tanda ini yang menunjukkan perlunya bantuan dari luar:

  • Perubahan suasana hati
  • Perubahan performa kerja
  • Perubahan berat badan
  • Kesedihan, keputusasaan, atau anhedonia (kehilangan kesenangan dan menarik diri dari hal-hal yang digunakan untuk memberikan kesenangan)
  • Gejala fisik, seperti sakit kepala dan masalah perut

Jika lo mengenali salah satu gejala ini pada orang yang lo cintai, Levin merekomendasikan untuk mengingatkan mereka bahwa meminta bantuan dapat menjadi tanda kekuatan daripada kelemahan.

Salah satu caranya adalah dengan mencari bantuan ke profesional, salah satunya adalah Satu Persen.

Nah, Satu Persen menyediakan layanan konseling dengan Psikolog. Di konseling ini lo bakal dapet tes psikologi supaya lo bisa tau gambaran kondisi lo saat ini. Berikutnya, lo juga akan dapat asesmen mendalam dan sampai akhirnya lo dapet worksheet dan terapi yang bakal disesuaikan sama hasil tes dan asesmen supaya bisa ngebantu lo secara tepat.

Kalau lo berniat mencoba layanan konseling dari Satu Persen, lo bisa langsung aja klik banner di bawah ini.

CTA-Blog-Post-06-1-4

Selain itu, lo juga bisa mendapatkan informasi lain mengenai kesehatan mental di channel YouTube Satu Persen. Dan jangan lupa buat dapetin informasi menarik lainnya di Instagram, Podcast, dan blog Satu Persen ini tentunya. Lo juga bisa ikut tes sehat mental gratis di sini!

Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

How Mental Health Stigma Affects Men. (n.d.). Retrieved November 30, 2021, from https://www.healthline.com/health-news/how-can-we-reduce-mens-mental-health-stigma#When-is-it-time-to-ask-for-help?

Men’s mental health: What affects it, and how to improve support. (n.d.). Retrieved November 30, 2021, from https://www.medicalnewstoday.com/articles/mens-mental-health-man-up-is-not-the-answer

Read More
judi

Buat Lo yang Suka Merasa Gak Pantes (Cara Mengatasi Impostor Syndrome)

impostor syndrome - merasa gak pantes
Satu Persen – Buat Lo yang Suka Merasa Gak Pantes

Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

“Kenapa gue ada di sini ya?”

“Gue nggak pantas dapet semua ini”

“Kok gue merasa yang gue kerjain nggak pernah maksimal ya?”

Pasti lo semua pernah kan ngomong kayak hal di atas sometimes ketika melakukan sesuatu. Lo merasa semua hal yang lo lakuin itu nggak maksimal. Dan ketika usaha atau kerja keras lo diapresiasi oleh seseorang, lo merasa bahwa lo nggak pantes dapet semua hal itu. Lo merasa merasa semua pencapaian diri dan kepercayaan diri lo adalah sebuah kebohongan dan kepalsuan.

Tapi, lo tau nggak sih, apa yang lo lakuin ke diri lo itu termasuk ke dalam masalah psikologis? Kondisi psikologis ini biasa disebut sebagai impostor syndrome alias sindrom penipu atau sindrom penyemu, Perseners.  

impostor syndrome - merasa gak pantes
Sumber dari wonder.ph

Karena lagi ngomongin tentang masalah kurangnya percaya diri nih, di artikel kali ini gue akan mencoba membahas masalah psikologis, yaitu impostor syndrome. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo. Selamat membaca!

Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!

Baca juga: Kamu Sering Ragu sama Diri Sendiri? (Tips Mengatasi Impostor Syndrome)

Apa itu Impostor Syndrome?

impostor syndrome
Sumber dari pixabay.com

Impostor syndrome adalah gagasan bahwa lo hanya berhasil karena keberuntungan, dan bukan karena bakat atau kualifikasi lo. Sindrom ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1978 oleh psikolog Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes. Dalam makalahnya, mereka berteori bahwa wanita secara unik dipengaruhi oleh impostor syndrome.

Sejak itu, penelitian telah menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita mengalami perasaan penipu. Clance juga menerbitkan makalah selanjutnya yang mengakui bahwa Impostor Syndrome memang nggak terbatas pada wanita saja. Saat ini, sindrom penipu dapat diterapkan pada siapa saja yang nggak mampu menginternalisasi dan memiliki kesuksesan mereka.

Orang-orang yang berjuang dengan impostor syndrome percaya bahwa mereka nggak layak mendapatkan prestasi dan penghargaan tinggi yang udah mereka dapatkan. Mereka merasa bahwa mereka nggak kompeten atau secerdas yang orang lain pikirkan—dan dalam waktu dekat, orang akan menemukan kebenaran tentang mereka. Mereka yang mengidap impostor syndrome sering kali berprestasi, mereka mungkin memegang jabatan tinggi atau memiliki banyak gelar akademis.

Untuk mengatasi perasaan ini, lo mungkin akan bekerja lebih keras dan mempertahankan standar yang lebih tinggi. Tekanan ini pada akhirnya dapat memengaruhi kesejahteraan emosional dan kinerja lo.

Cobain, Yuk Tes Faktor Kepercayaan Diri: Kenali Kelebihanmu!

Bagaimana Rasanya Mengidap Impostor Syndrome?

impostor syndrome - merasa gak pantes
Sumber dari pixabay.com

Perasaan palsu mewakili konflik antara persepsi diri lo sendiri dan bagaimana cara orang lain memandang lo.

Bahkan ketika orang lain memuji bakat atau kemampuan lo, lo merasa nggak percaya bahwa lo mendapatkannya atas keras keras diri lo sendiri. Bahkan, lo malah takut orang lain pada akhirnya akan menyadari hal yang sama, yaitu bahwa lo penipu.

Akibatnya, lo menekan diri sendiri untuk bekerja lebih keras demi:

  • Mencegah orang lain mengenali kekurangan atau kegagalan lo
  • Menjadi layak untuk peran yang lo yakini sebelumnya nggak pantas lo dapatkan
  • Menebus apa yang lo anggap kurang dari kecerdasan diri lo
  • Meredakan perasaan bersalah karena “menipu” orang

Pekerjaan yang lo lakukan dapat membuat siklus terus berjalan. Pencapaian lo selanjutnya nggak meyakinkan lo—lo menganggapnya nggak lebih dari produk dari upaya lo untuk mempertahankan “ilusi” kesuksesan lo.

Setiap pengakuan yang lo peroleh, lo menyebutnya simpati atau belas kasihan. Dan meskipun mengaitkan pencapaian lo dengan kebetulan, lo menanggung semua kesalahan atas kesalahan yang lo buat. Bahkan, kesalahan kecil pun memperkuat keyakinan lo kurangnya kecerdasan dan kemampuan lo.

Seiring waktu, ini dapat memicu siklus kecemasan, depresi, dan rasa bersalah.

Hidup dalam ketakutan akan penemuan, lo berjuang untuk kesempurnaan dalam segala hal yang lo lakukan. Lo mungkin merasa bersalah atau nggak berharga ketika lo nggak dapat mencapainya, belum lagi kelelahan dan kewalahan dengan upaya lo yang terus-menerus.

Baca juga: Social Anxiety Disorder: Gangguan Cemas, Gejala, dan Penangannya

Dari Mana Impostor Syndrome ini Datang?

Nggak ada satupun penyebab yang jelas dari impostor syndrome ini. Sebaliknya, sejumlah faktor kemungkinan bergabung untuk memicunya.

Penyebab potensial yang mendasari adalah:

  • Orang tua dan lingkungan saat masih anak-anak.
  • Kepribadian.
  • Gejala kesehatan mental yang ada.
  • Tanggung jawab baru.

Bagaimana Kamu Tahu Kalau ini Benar Impostor Syndrome?

Perasaan penipu sejati melibatkan keraguan diri, ketidakpastian tentang bakat dan kemampuan lo, dan perasaan nggak berharga yang nggak sejalan dengan apa yang orang lain pikirkan tentang lo.

Singkatnya, lo pikir lo telah membodohi orang lain untuk percaya bahwa  lo adalah seseorang yang sempurna. Sangat dapat dimengerti bahwa lo mungkin mulai merasa nggak pada tempatnya dan nggak layak.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

impostor syndrome - merasa gak pantes
Sumber dari pixabay.com

Jika lo merasa seperti penipu, bekerja lebih keras untuk melakukan yang lebih baik mungkin nggak banyak mengubah citra diri lo.

Mungkin, strategi ini dapat membantu lo mengatasi perasaan impostor syndrome secara produktif:

1. Validasi perasaanmu

Mengidentifikasi perasaan palsu tersebut dan membawanya ke arah yang lebih baik demi mencapai tujuanmu.

2. Membangun koneksi

Hindari menyerah pada dorongan untuk melakukan semuanya sendiri. Alih-alih, beralihlah ke teman sekelas, rekan akademis, dan rekan kerja untuk menciptakan jaringan yang saling mendukung.

3. Tantang keraguan lo

Ketika perasaan palsu muncul, tanyakan pada diri lo apakah ada fakta aktual yang mendukung keyakinan ini. Kemudian, cari bukti untuk melawannya.

4. Berhenti membandingkan diri lo dengan orang lain

Setiap orang memiliki kemampuan yang unik. Lo berada di tempat lo berada sekarang karena seseorang mengenali bakat dan potensi lo.

Selain cara di atas, lo bisa juga coba cek video tentang impostor syndrome dari YouTube Satu Persen di bawah ini, ya!

YouTube Satu Persen – Stop Ragu sama Kemampuanmu!

Kesimpulan

Sukses nggak membutuhkan kesempurnaan. Kesempurnaan sejati secara praktis nggak mungkin terjadi, jadi gagal mencapainya nggak membuat lo menjadi penipu.

Menawarkan kebaikan dan kasih sayang pada diri sendiri alih-alih penilaian dan keraguan diri dapat membantu lo mempertahankan perspektif yang realistis dan memotivasi lo untuk mengejar pertumbuhan diri yang sehat.

Jika lo terus berjuang melawan perasaan palsu, lo bisa coba mencari bantuan ke ahlinya dan mendapatkan dukungan berupa:

  • Mengatasi perasaan nggak layak atau penipuan yang dirasakan.
  • Mengatasi kecemasan, depresi, atau tekanan emosional lainnya.
  • Menantang dan membingkai ulang keyakinan yang nggak diinginkan.

Selain itu, dengan mencari bantuan dari profesional, hal ini dapat menghindarkan diri lo dari yang namanya self-diagnosis. Nah, jika lo bingung mau cari bantuan dari profesional lewat cara apa, lo bisa coba  layanan Konseling dengan Psikolog dari Satu Persen.

Di konseling ini lo bakal dapet tes psikologi supaya lo bisa tau gambaran kondisi lo saat ini. Berikutnya, lo juga akan dapat asesmen mendalam dan sampai akhirnya lo dapet worksheet dan terapi yang bakal disesuaikan sama hasil tes dan asesmen supaya bisa ngebantu lo secara tepat.

Lo bisa klik aja gambar di bawah buat cari tau lebih lanjut dan mendaftarkan diri untuk layanan konseling ini.

CTA-Blog-Post-06-1-19

Kalau lo masih ragu, lo dapat mencoba tes gratis dari kita terlebih dahulu. Dengan tes ini, lo akan tahu layanan konsultasi mana yang terbaik untuk masalah lo. Caranya gampang banget, cukup klik aja di sini.

Selain itu, lo juga bisa mendapatkan informasi lain mengenai kesehatan mental di channel YouTube Satu Persen. Dan jangan lupa buat dapetin informasi menarik lainnya di Instagram, Podcast, dan blog Satu Persen ini tentunya.

Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Gue Dimsyog dari Satu Persen, selamat mencoba untuk menjadi sahabat dan teman terbaik bagi diri lo sendiri. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

How to Overcome Impostor Syndrome – Guides – The New York Times. (n.d.). Retrieved December 16, 2021, from https://www.nytimes.com/guides/working-womans-handbook/overcome-impostor-syndrome

Imposter Syndrome: What It Is & How to Overcome It. (n.d.). Retrieved December 16, 2021, from https://www.healthline.com/health/mental-health/imposter-syndrome#takeaway

Imposter Syndrome | Psychology Today. (n.d.). Retrieved December 16, 2021, from https://www.psychologytoday.com/us/basics/imposter-syndrome

Yes, Impostor Syndrome is Real: Here’s How to Deal With It | Time. (n.d.). Retrieved December 16, 2021, from https://time.com/5312483/how-to-deal-with-impostor-syndrome/

Read More
judi

Gen Z: Generasi Gak Sabaran!

Generasi Z bisa dikatakan adalah generasi yang gak sabaran. Gaya hidup kita instan, apapun yang kita butuh bisa kita dapet dengan jempol kita aja. Yang jelas sih gini: Kita pengen semuanya cepet

Hal ini juga termasuk pada pencapaian karir, waktu menikah, nyelesain pendidikan, dsb.

Affiliator. Gaya hidup instan. Konsumerisme. Boros. Latte Factor. Harga rumah. Tuntutan orang tua. Tetangga. Slow living

Makanya, di artikel kali ini, gue bakal bahas fenomena nggak sabaran atau bahkan instan, yang banyak ditemukan di generasi zaman sekarang. Ya, gue termasuk ke dalam generasi zaman sekarang sih, jadi ini artikel introspeksi diri juga kali ya.

Baca artikel ini sampai habis kalau lo mau belajar bareng Satu Persen Lifeschool ya.

INTRO

Banyak yang bilang fenomena instan itu terjadi generasi baru2 ini. Setuju gak? Dari artikel yg gue baca, bener sih ya…

Salah satu ciri khas generasi millennial dan generasi Z adalah: instan, efektif, dan efisien. Generasi sekarang punya tendensi buat nyelesein masalah yang mereka hadapin sekarang dan saat ini juga. Ini ditemukan di beberapa aspek kehidupan belakangan ini.

Misalnya nih, lo baru inget susu di rumah lo habis, lo tinggal buka aplikasi e-commerce dan check out buat beli. Lo bahkan bisa dapet opsi buat barangnya dianterin ke rumah lo di hari itu juga kalau lo butuh banget.

Contoh lain di sosmed, lo mau cari soal gosip terbaru saat ini apa, lo bisa buka twitter dan tweet paling pertama ngerangkum gosipnya soal apa. Atau, lo kalau mau cari tau Evan tuh orangnya kayak apa, lo bisa langsung cari nama gue di Instagram dan baca post gue kayak gimana. Nggak perlu lagi tuh ngobrol sama orang lain buat dapet gosipnya apa atau lo ngobrol sama gue buat dapet Evan tuh gambarannya kayak gimana.

Di satu sisi, ini bagus banget karena ya, berarti perkembangan teknologi udah ngebantu kita buat hidup lebih nyaman dan mandiri dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Siapa sih yang nggak mau hidup nyaman kayak sekarang?

Tapi di satu sisi, ada masalah yang muncul: kita jadi mau segala hal instan dan malah jadi nggak sabaran. Padahal, emang ada beberapa hal di hidup ini yang nggak bisa jalan instan.

Pertanyaannya: Keinginan kita buat dapetin segala sesuatu cepet tuh wajar nggak, Van?

Lagi-lagi wajar. Pada dasarnya, manusia itu emang pengen segala hal sekarang daripada nanti-nanti, jadi kalau kita diminta buat sabar atau dapetin reward-nya nanti, itu agak susah buat ngelawannya.

Nah, walaupun wajar, kita juga perlu paham kalau selama ini kita mau instant gratification terus, yang ada kita bisa malah ambyar sendiri.

Kita perlu paham juga kalau nggak semua hal yang instan itu ada konsekuensinya juga. Kayak tadi, lo bisa aja mesen susu di antar ke rumah lo saat itu juga tapi konsekuensinya adalah lo bayar lebih mahal dibandingkan nunggu beberapa hari buat ongkir yang lebih murah.

Atau hal yang lebih serius, soal bangkit dari kegagalan yang baru aja lo alami. Yes, pastinya lo maunya cepet-cepet aja biar nggak kepikiran lagi. Tapi sayangnya lo nggak bisa ngeburu-buruin hal itu. Kalau lo ngeburu-buruin, yang ada lo nggak benar-benar bangkit dari kegagalan itu, tapi malahan nggak lo proses dengan baik aja. Which ya, bisa ngedatengin banyak masalah baru.

Gue harap pemparan gue soal generasi milenial dan gen Z ini yang mau segala hal ekstra cepat dan instan ini bisa lo evaluasi lebih mendalam. Karena ya, hidup kita bakal efisien juga. Tapi di saat bersamaan, paham kalau nggak semua hal bisa secepat dan seinstan yang lo harapkan tadi.

Oke balik lagi ke pembahasan. Terus cara biar kita nggak serba instan dan cepat gimana dong van?

Pertama, praktekkin delayed gratification alias lawannya instant gratification. Beda sama instant gratification, delayed gratification ini fokusnya adalah nggak dapet kenyamanan instan tapi dengan ngelatih sabar dan menunggu, kita bisa dapet kenyamanan yang berlipat ganda di masa depan.

Nah ini keliatan banget di salah satu penelitian dari Stanford namanya Marshmallow Test. Pesertanya tuh anak-anak kecil dan mereka satu marshmallow di depan mereka. Instruksinya adalah, mereka nggak boleh makan marshmallow itu selama 10 menit. Kalau mereka nggak makan, nanti marshmallow nya ditambah satu lagi. Jadi mereka dapet dua. Dan namanya juga anak-anak, hasilnya jadi berbagai macam ya.

Tapi uniknya itu setelahnya. Ada beberapa penelitian follow up dari nasib anak-anak ini ditemukan kalau mereka yang lebih memilih buat nggak makan marshmallow-nya itu dapet skor yang lebih tinggi di ujian, kecenderungan buat obesitas rendah, nggak gampang stres, dan punya kemampuan sosial yang lebih oke.

Dan emang pasti ada variabel-variabel lain yang ngaruh ke hasil penelitian follow up ini, tapi yang bisa kita simpulkan adalah: delayed gratification itu termasuk dari salah satu elemen penting.

Jadi next time kalau lo tergoda buat nonton TV dibandingin olahraga biar tubuh lo lebih sehat, mungkin lo bisa buat inget lagi kalau nonton TV itu nikmatnya sesaat, dibandingin olahraga biar tubuh lo lebih sehat dan nggak gampang jompo.

Tentu aja, delayed gratification ini juga butuh disertai dengan self management yang sehat juga. Karena ya, buat nolak kenikmatan instan dengan hanya kekuatan dalam diri nggak semudah itu. Makanya, dengan self management yang sehat dan optimal, lo bisa lebih mudah buat praktekkin delayed gratification ini.

Akhir kata dari gue, generasi sekarang emang lebih nyaman dibandingin yang lalu-lalu karena ya, kita bahkan bisa dapet kenyamanan secara instan. Tapi balik lagi, kita perlu paham kalau nggak semua hal bisa kita dapetin instan dan saat itu juga.

Gue Jhon dari Satu Persen, thanks.

Read More