putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Dampaknya

judi

Mengenal Sandwich Generation dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

Definisi, Penyebab dan Dampak Generasi Sandwich pada kesehatan mental
Satu Persen – Apa Itu Generasi Sandwich?

Kamu pernah makan roti sandwich? Makanan dengan isian daging, sayur, telor, dan saus yang kemudian diapit dua buah roti. Rasanya enak banget untuk nemenin sarapan dengan secangkir teh. Tapi, kalau sandwich generation, kamu pernah dengar, nggak?

Sandwich Generation
Cr: Google, spongebob sandwich

Yup, ternyata ada loh, istilah sandwich generation atau generasi sandwich. Istilah ini ditujukan untuk suatu fenomena dimana seseorang diapit oleh kebutuhan dua generasi sekaligus.

Hah gimana tuh maksudnya?”

Nah, di artikel kali ini, bersama gue Zahra, kita akan kupas tuntas apa itu sandwich generation! Mulai dari definisi, ciri-ciri hingga dampaknya. Baca sampai akhir, ya!

Apa yang Dimaksud Generasi Sandwich?

Sandwich generation atau generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh A. Miller, pada 1981. Seorang profesor sekaligus direktur praktikum di Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS). Istilah ini dipakai dalam jurnalnya yang berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging”.

Nah, generasi sandwich dapat diartikan sebagai sebuah fenomena dimana seseorang harus menanggung kebutuhan, terutama kebutuhan finansial dari generasi atas dan generasi bawah. Generasi atas yaitu orang tua mereka dan generasi bawah yaitu anak-anak mereka. Seperti isian daging dalam roti sandwich yang dihimpit dua roti, generasi sandwich juga terhimpit oleh kebutuhan dua generasi yang berbeda.

Jadi secara sederhana, kamu yang berada di generasi sandwich dituntut untuk harus menghidupi dan mencukupi kebutuhan orang tua kamu sekaligus anak-anak kamu. Bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi juga kebutuhan kesehatan dan kebutuhan penting lainnya.

Perawatan untuk orang tua yang sudah mulai menurun kesehatannya karena faktor usia, juga kebutuhan tumbuh kembang si kecil. Karenanya, generasi sandwich biasanya ada pada middle age, atau orang-orang yang berusia 35-54 tahun.

Kok Bisa sih, Ada Generasi Sandwich?

Umumnya, generasi sandwich terjadi secara turun-temurun. Jadi ketika orang tua sudah terjebak dalam generasi sandwich, bisa jadi anaknya besok juga akan terjebak dalam situasi tersebut. Hal ini sering juga disebut sebagai siklus lingkaran generasi sandwich.

Masa muda dan produktif seseorang yang harus membiayai dua generasi sekaligus membuat mereka sering lupa dan kesusahan menyiapkan dana untuk masa tua. Oleh karena itu, mau tidak mau akan berdampak pada kebutuhan masa tuanya nanti yang harus ditanggung anaknya dan situasi ini terulang terus-menerus.

Di satu sisi, generasi sandwich juga terjadi karena kurang siapnya seseorang dalam mempersiapkan masa depan. Mempersiapkan dalam hal ini termasuk mengatur keuangan, pengeluaran, dan pemasukan untuk masa depan. Minimnya pengetahuan terkait asuransi kesehatan, jaminan hari tua, atau investasi untuk passive income juga menjadi faktor penyebab generasi sandwich ini.

Ciri-ciri Generasi Sandwich

Carol Abaya, seorang Aging dan Elder Care Expert (seniorliving.org) membagi ciri-ciri generasi sandwich yang dilihat dari perannya menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. The Traditional Sandwich Generation

Generasi ini berisi orang dewasa yang berusia 40-50 tahun. Mereka diapit antara kebutuhan orang berusia lanjut dan anak-anak yang masih membutuhkan bantuan finansial.

2. The Club Sandwich Generation

Generasi ini berisi orang dewasa yang berusia 30-60 tahun, Mereka diapit antara orangtua dan anak, serta cucu (jika sudah punya) atau nenek dan kakek (jika masih hidup).

3. The Open Faced Sandwich Generation

Generasi ini berisi siapa pun (yang tidak profesional) yang terlibat dalam perawatan lansia.

Terlihat begitu berat ya, jika melihat definisi dari masing-masing perannya. Seseorang harus menanggung beban dan mengesampingkan keinginan dirinya sendiri. Hal tersebut tak jarang membuat generasi sandwich rentan mengalami stres.

Survey di Amerika Serikat pada tahun 2007 bahkan memberikan hasil bahwasanya generasi sandwich mengalami tingkat stres lebih tinggi. Hal ini dikarenakan mereka dituntut untuk menyeimbangkan peran dalam perawatan anak dan juga orangtua mereka

Dampak bagi Generasi Sandwich

Selain mudah stres, beratnya beban yang harus ditanggung generasi sandwich terkadang membuat mereka menjadi kelelahan dan rentan mengalami gangguan mental, loh. Gangguan mentalnya seperti apa saja, sih?

1. Burnout (Kelelahan Fisik dan Mental)

Menghidupi orang tua dan anak-anaknya sekaligus tentu mengharuskan untuk bekerja super ekstra karena kebutuhan bertambah dua kali lipat. Hal tersebut tentu dapat mengakibatkan kelelahan fisik.

Bisa jadi jam tidur harus berkurang karena mengambil kerja tambahan demi pemasukan bertambah. Pulang larut malam untuk ambil lembur, atau bangun lebih pagi untuk pekerjaan tambahan.

Fisik yang diforsir setiap hari tentu akan merasa capek. Ibarat mesin nih, kalau dipakai terus-terusan dan super ekstra, juga bakalan panas sendiri.

burnout
cr: id.pinterenst.com

Di satu sisi, tentu mentalnya juga akan lelah. Orang-orang yang terjebak pada generasi sandwich hanya memiliki sedikit waktu untuk bersosialisasi karena sehari-hari waktunya habis untuk bekerja. Padahal tak jarang hasil jerih payahnya hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri.

Hal itu tentu mengurangi rasa puas setelah bekerja dan sulit meluapkan emosi atau refreshing bersama lingkungan sekitar.

2. Perasaan Bersalah

Meski sudah bekerja keras, perasaan bersalah juga sering dirasakan loh, oleh generasi sandwich. Perasaan ini muncul biasanya ketika mereka belum mampu memenuhi kebutuhan orang tua atau anak-anaknya secara maksimal. Mereka merasa harus bertanggung jawab atas semua keinginan orang tua dan anak-anaknya sehingga ketika ada satu dua yang belum bisa dipenuhi, perasaan bersalah akan muncul dan berkecamuk.

sandwich generation
cr: id.pinterest.com

Perasaan bersalah ini sebenarnya jika dibiarkan akan berbahaya dan mengganggu kesehatan mental. Mereka akan mudah menyalahkan diri sendiri dan belum bisa menghargai apa yang sudah ia kerjakan. Perasaan bersalah membuat seseorang mudah insecure dan sulit untuk mencintai diri sendiri.

3. Merasa khawatir terus-menerus

Sama seperti perasaan bersalah yang mudah hadir, generasi sandwich juga mudah merasa khawatir bahkan terus-menerus. Kekhawatiran akan masa depan orangtua dan anak-anaknya, dan yang pasti diri mereka sendiri.

Khawatir hasil kerjanya belum cukup membiayai kesehatan orang tua, atau khawatir pendidikan yang diberikan ke anak-anaknya belum maksimal karena keterbatasan biaya. Generasi sandwich juga sering khawatir sampai kapan mereka harus berada pada situasi seperti ini.

generasi sandwich - overthinking
Cr: knowyourmeme.com

Perasaan khawatir yang terus-menerus akan menyebabkan kecemasan berlebihan. Kecemasan ini pun jika diabaikan lama-kelamaan akan memuncak dan mengakibatkan depresi. Perasaan ini dapat dikurangi dengan membagi beban kepada orang lain. Baik dengan bercerita dengan teman sebaya atau sesama generasi sandwich, atau pun dengan keluarga besar mereka.

Baca Juga : Kecemasan, Wajar Gak Ya? Yuk Kenalan!

So, mulai dari sekarang, kita harus pandai mengatur keuangan agar tidak menjadi penyebab anak kita nanti terjebak dalam generasi sandwich. Pentingnya tabungan untuk hari tua dan passive income bisa loh, mulai kamu dipertimbangkan sejak dini.

Baca Juga: Cara Mengelola Keuangan Pribadi (Financial Plan)

Nah, buat kamu nih yang saat ini ternyata sedang terjebak di sandwich generation, first thing first: Bersyukur! Bersyukur karena dipilih Tuhan dan diberi kekuatan serta rezeki untuk bisa menghidupi dua generasi sekaligus. Keren banget nggak sih, berarti?

Dan, jangan pernah ragu untuk berbagi cerita tentang kehidupan kamu ketika sedang merasa berat. Cara ini bisa mengurangi potensi stres yang timbul akibat kerja keras dan beban yang kamu alami. Dengan berbagi, hati akan menjadi lebih lapang dan kembali terisi energi untuk beraktivitas.

“Tapi, harus cerita ke siapa?”

Cerita ke Satu Persen, dong! Karena Satu Persen menyediakan layanan konseling untuk kamu yang ingin berkonsultasi perihal berbagai permasalahanmu. Terlebih ketika dampak mental dari generasi sandwich sudah mulai kamu rasakan dan sangat mengganggu aktivitas sehari-harimu. Fix deh, kamu harus coba konsultasi ke Satu Persen. Untuk daftarnya?  KLIK LINK DISINI, YA! Kalau masih ragu, coba deh kamu ikut tes konsultasi dulu.

Terakhir, Gue Zahra, Blog Writer Satu Persen, sampai jumpa di artikel selanjutnya ya! Stay happy and healthy, Perseners!

Referensi

  1. Carol Abaya. (Januari, 1999). A Survival Course for the Sandwich Generation. New York. www.sandwichgeneration.com
  2. Dorothy A. 1981. MillerThe ‘sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging. Oxford University Press
Read More
judi

Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental

Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental
Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental

Halo, Perseners! How’s life?

Kenalin, nama gue Hana. Gue di sini menulis sebagai Associate Writer dari Satu Persen.

Pasti ada dari kalian yang akhir-akhir ini lagi gak baik-baik aja. Mungkin ada yang lagi dapet cobaan atau mengalami kegagalan. Lalu, gimana sih cara kalian menghadapi perasaan yang kurang enak itu?

Mungkin ada berbagai macam cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan berusaha untuk tetap berpikir positif. Tentunya, gak ada yang salah dari bersikap optimis kayak begitu. Akan tetapi, kalau dilakukan secara berlebihan, yang ada malah menambah masalah baru—alih-alih menyelesaikan masalah dan bikin lo merasa lebih baik.

Pernah dengar tentang toxic positivity? Nah, istilah yang lagi lumayan rame di media sosial ini sering digunakan untuk menggambarkan sikap “terlalu positif” tadi.

Tapi, toxic positivity itu sebenernya apa sih? Yakin udah bener-bener paham sama toxic positivity?

Apa Itu Toxic Positivity?

Sederhananya, toxic positivity adalah keyakinan yang gak wajar bahwa kita harus berpikir positif dalam situasi apapun. Bahkan ketika pada faktanya kita lagi gak baik-baik aja. Sehingga, sikap positif tersebut justru malah merugikan alih-alih memberi dampak baik.

Terus gimana dampaknya? Well, sama seperti hal lainnya, sikap positif yang berlebihan dapat berakhir menjadi racun. Iya sih, niatnya baik, yaitu mau ngasih semangat supaya gak sedih terus. Tapi, sikap positif yang udah di tahap toxic gak akan bikin orang yang mendengarnya merasa lebih baik.

Toxic positivity dapat berupa pembungkaman emosi negatif yang sebenernya gak apa-apa buat diekspresikan. Bisa juga dengan bersikap menyepelekan kesedihan alih-alih memvalidasinya. Hal itu bisa bikin orang malah menekan perasaan yang sebenarnya dan berpura-pura bahagia.

Ucapan penyemangat yang mengandung toxic positivity gak hanya dilakukan kepada orang lain aja. Ternyata, kita juga bisa menjadi pelaku toxic positivity kepada diri sendiri, lho! Misalnya, dengan maksain diri buat selalu kelihatan hepi.

Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

Berpikir positif sebenernya bagus buat kesehatan mental kita. Ada banyak bukti dari buku dan studi mengenai manfaat berpikir positif. Misalnya, jadi lebih menghargai diri dan mencegah bunuh diri.

Akan tetapi, ditemukan pula bahwa berpikir positif bukanlah satu-satunya cara yang selalu bisa digunakan dalam menghadapi semua masalah. Dukungan dari orang lain dan keyakinan terhadap diri sendiri juga menjadi faktor keberhasilan dalam menghadapi tantangan hidup. Kalo cuma maksain buat berpikir positif, nanti jatuhnya jadi berlebihan atau toxic positivity.

Mungkin lo jadi bertanya-tanya. Terus, gimana dong cara membedakan berpikir positif yang wajar dan toxic positivity?

Umumnya, toxic positivity ditandai dengan menutupi atau mengabaikan perasaan yang sebenarnya, menghilangkan emosi secara langsung, invalidasi emosi, mempermalukan orang yang mengungkapkan perasaan negatif, dan lain-lain. Berpikir positif yang benar tentu bukan dengan cara seperti ini ya, guys.

Gak cuma bikin seseorang merasa bersalah ketika merasakan emosi negatif, toxic positivity juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental, lho. Terutama kalo toxic positivity terus-menerus dilakukan.

Baca Juga: Toxic Positivity: Niat Berbuat Baik, Malah Bikin Buruk

Dampak Toxic Positivity: Sisi Gelap Menjadi Terlalu Positif

Sebagai manusia, wajar aja dong kalo kita merasa marah, sedih, atau lagi gak semangat. Soalnya, hidup juga gak selalu menyenangkan. Kadang kita mengalami hal-hal yang gak diinginkan. Jadi, kita gak perlu maksain diri buat selalu dalam mode “positive vibes”, kok!

Selain itu, toxic positivity juga bisa berdampak buruk buat kesehatan mental kita. Efeknya gak cuma sesaat aja, tapi bisa dalam jangka panjang juga.

Wah, emangnya bisa sampe seburuk apa, sih?

1. Toxic positivity bikin ngerasa malu sama emosi sendiri

Maksain buat berpikir positif ketika lagi ngerasa sakit cenderung bisa ngebuat seseorang menderita dalam diam. Kita menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya karena takut dinilai negatif, lemah, atau gak asyik. Kalo udah kayak begitu, biasanya kita jadi malu kalo diminta buat jujur mengenai perasaan kita.

Rasa malu sendiri merupakan sesuatu yang cukup mengganggu. Biasanya, kalo udah malu duluan, pasti susah banget buat diusahain jadi berani. Bener, gak?

Nah, supaya nanti gak perlu malu lagi sama apa yang kita rasakan, yuk kurangi toxic positivity dari sekarang! Mending banyak-banyakin memvalidasi perasaan dan berdamai sama kehadirannya 🙂

Baca Juga: Marah Bagian Dari Kita: Bagaimana Mengatasinya?

2. Toxic positivity berarti menekan emosi yang sebenarnya dirasakan

Sebuah studi menemukan bahwa mengekspresikan emosi, bahkan yang negatif sekali pun, ternyata membantu kita untuk mengatur respon stres. Menekan emosi dengan bertindak seolah-olah gak ada apa-apa malah meningkatkan kadar stres di dalam diri kita.

Artinya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa menekan emosi gak akan mengurangi masalah. Justru terus-terusan menekan emosi malah memunculkan kebiasaan yang gak sehat. Sehingga, penting banget nih buat belajar menerima emosi, termasuk emosi yang menyakitkan.

3. Merasa terisolasi gara-gara toxic positivity

Bersikap seolah-olah selalu tangguh karena toxic positivity malah membuat kita seperti bukan manusia sewajarnya. Akhirnya, kita jadi gak terkoneksi lagi dengan diri sendiri, dan orang lain pun jadi sulit juga buat terkoneksi sama kita.

Padahal, lo bisa minta bantuan kepada orang terdekat pas lagi gak baik-baik aja. Tapi, toxic positivity bikin lo gak bisa jujur bahwa sebenernya lo butuh pertolongan. Kalo udah begitu, gak heran kalo lo mulai ngerasa terisolasi.

Bersikap positif tanpa melakukan toxic positivity

Menjadi “terlalu positif” itu gak selamanya baik. Oke, mungkin lo udah paham soal itu. Tapi, lo jadi kepikiran gak sih, gimana cara ngasih semangat yang benar tanpa toxic positivity?

Pada akhirnya, lo pasti pengen diri lo atau orang lain yang lagi gak baik-baik aja itu bangkit dari keterpurukan dan mulai optimis lagi. Tentunya, gak ada orang yang mau mikir negatif terus.

Well, kita bisa jadi suportif buat diri sendiri atau orang lain tanpa toxic positivity. Caranya? Kita harus lebih memperhatikan ucapan ketika lagi nyemangatin seseorang yang sedang gak baik-baik aja.

Nah, berikut adalah ucapan yang cenderung toxic dan sebaiknya lo hindari:

“Udah, pikirin yang bagus-bagus aja, deh.”

“Setiap kejadian buruk pasti ada alasan dan hikmah baik di baliknya, kok.”

“Kalo gue bisa, lo pasti juga bisa kok melaluinya.”

“Masih mending kalo cuma segitu. Bisa lebih parah lagi, lho!”

Alangkah lebih baik kalo lo melakukan validasi terhadap apapun yang dirasakan. Kalo posisinya lo lagi ngasih support ke orang lain, jangan lupa buat nanyain apa yang bisa kita bantu buat mereka. Bisa juga dengan bilang bahwa lo ada buat mereka.

“Pasti berat buat lo, ya. Wajar aja kalo lo jadi ngerasa sedih.”

“Tenang, gue di sini ada buat nemenin lo, kok. Lo gak sendirian.”

“Kira-kira ada yang bisa gue bantu gak, supaya lo ngerasa lebih baik?”

Gimana? Keliatan kan, bedanya?

Dengan validasi, orang jadi lebih ngerasa aman buat menerima emosi mereka. Menerima fakta bahwa lo terluka itu merupakan awal dari tahap pemulihan. Lo pasti juga bisa menilai sendiri kan, perkataan seperti apa yang lebih enak buat didengar dan diterima?

Coba Juga: Tes Tingkat Resiliensi: Belajar Bangkit Lagi Yuk!

gambar-orang-overthinking
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

Oke, kita udah tahu apa itu toxic positivity dan bagaimana supaya gak melakukan itu. Tapi, gimana kalo lo belum punya support system yang gak melakukan toxic positivity, padahal lo lagi butuh banget buat divalidasi dan ditemenin? Atau gimana kalo lo udah punya support system yang tepat, tapi lo ngerasa itu belum cukup membantu?

Tenang aja, Perseners. Cari bantuan itu gak cuma sebatas ke orang terdekat aja, kok. Mungkin lo juga butuh yang namanya konsultasi sama psikolog. Dan kabar baiknya, Satu Persen punya layanan konseling online yang pastinya cocok buat lo.

Layanan konseling online hadir buat lo yang butuh bantuan klinis dan ditangani oleh psikolog. Nantinya, lo difasilitasi dengan psikotes, worksheet, dan juga bisa mendapatkan diagnosa. Gak cuma itu, lo juga bakal diberikan asesmen mendalam dan terapi apabila dibutuhkan. Tentunya, lo gak perlu takut mengalami toxic positivity kalo konseling sama Satu Persen.

Buat informasi selengkapnya, langsung aja klik gambar di bawah ini yah!

Satu-Persen-Artikel--30--6

Kalo lo ngerasa pembahasan di artikel ini masih kurang, lo juga bisa cari tahu lebih dalam tentang toxic positivity lewat video YouTube Satu Persen. Tinggal klik dan tonton aja video di bawah, ya!

Oke, cukup segitu dulu tulisan gue kali ini. Gue harap, artikel ini bisa bermanfaat buat lo yang lagi butuh, ya. Gak perlu khawatir, semua perasaan kalian itu valid buat dirasakan, kok. Semoga bisa cepat pulih, ya 🙂

Buat lo yang mungkin masih sering menyangkal emosi dan toxic positivity ke diri sendiri, lo gak berusaha sendirian, kok. Gue, lo, dan kita semua sama-sama belajar buat jadi orang yang lebih baik. Yang penting lo terus berproses, minimal #SatuPersen setiap hari menuju #HidupSeutuhnya.

Akhir kata, thanks a million!

Referensi

Quintero, S., Long, J. (2019). Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Retrieved on April 16, 2021 from https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/.

Villines, Z. (March 30, 2021). What to know about toxic positivity. Retrieved on April 16, 2021 from https://www.medicalnewstoday.com/articles/toxic-positivity.

Read More