putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Culture

judi

Tren Hustle Culture di Drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha: Bahaya kah?

tren hustle culture - hometown cha-cha-cha
Satu Persen – Tren Hustle Culture

Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

Siapa sih yang gak tau drama Korea ‘Hometown Cha-Cha-Cha’ yang lagi hits saat ini di kalangan kawula muda hingga dewasa khususnya di Indonesia? Drama korea satu ini diperankan oleh Shin Min-A (Hyon Hye-Jin) dan Kim Seon-Ho (Hong Du-Sik) yang menceritakan seorang wanita yang pindah dari Seoul ke sebuah desa bernama Gongjin sebagai dokter gigi dan seorang pria yang ahli dalam berbagai bidang pekerjaan.

Kim Seon-Ho berperan sebagai Hong Du-Sik, seorang pemuda desa yang serba bisa dengan banyak kualifikasi kerja. Karakter Hong Du-Sik yang diperankan oleh Kim Seon-Ho ini disambut sebagai pemuda yang hampir sempurna sebagai “pengangguran” yang sibuk, tampan, dan pekerja keras. Padahal, yang dilakukan Hong Du-Sik adalah sebuah gaya hidup toxic, tren kekinian yang payah atau biasa disebut hustle culture.

Nah, di artikel kali ini gue akan membahas tentang hustle culture. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo. Selamat membaca!

Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!

Apa Itu Hustle Culture?

Drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha
Sumber dari wolipop.detik.com

Hustle culture adalah tren di mana sebuah mentalitas yang harus selalu diuji, bekerja sampai kelelahan adalah sebuah kehormatan, dan pekerjaan serta identitas lo adalah satu dan sama.

Bagi mereka yang masih mencernanya, hustle culture adalah sebuah kebiasaan toxic dan gak sehat yang terkait dengan pekerjaan. Orang-orang meromantisasi diri mereka sebagai pekerja keras siang dan malam. Gak peduli apa yang dia lakukan, dia selalu hidup untuk bekerja, bekerja, dan bekerja.

Sering kali, kesibukan ini berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Ada yang mengalami kurang tidur dan insomnia, ada yang kerja kerja kerja terus tipes, dan gak jarang ada yang mengalami depresi.

Dr. M. Tasdik Hasan, peneliti kesehatan mental global, mengatakan, “Hubungan langsung antara kerja berlebihan dan kesehatan mental dapat mengganggu ritme biologis tubuh dan membahayakan kesehatan mental tubuh.”

Konsep kerja keras alias hard working itu gak masalah, tapi kalau berlebihan itu yang buruk. Kita gak perlu memamerkan setiap tetes darah terakhir untuk sebuah pekerjaan, menempatkan diri kita dalam bahaya dan memaksa pekerjaan apa pun untuk menjadi sempurna hanya karena persaingan di antara rekan kerja. Perseners, ingat deh, uangnya gak banyak, kenapa lo ingin bekerja begitu keras?

Hong Du-Sik bukanlah pekerja kantoran yang setiap hari melihat laptopnya seperti lo maupun gue. Dia dalam drama Korea ‘Hometown Cha-Cha-Cha’ lebih tepat disebut sebagai pengangguran. Tapi, Hong Du-Sik bisa apa aja, loh. Mulai dari perbaikan kapal, bartender, juru lelang, perbaikan listrik, agen persewaan gedung, bahkan bekerja semalaman di sauna semua bisa dilakukan.

Gak main-main, Hong Du-Sik juga bersertifikat untuk semua pekerjaan paruh waktunya. Banyak deh, jumlahnya. Jadi, jangan heran jika dia sangat suka memakai rompi dan celana dengan banyak kantong, ya. Karena kantong-kantong itu untuk memasukkan semua sertifikasi dan peralatannya.

Ketika banyak kawula muda kagum melihat sosok Hong Du-Sik saat menonton Hometown Cha-Cha-Cha, gue justru khawatir pria tampan itu akan stres dan sakit karena hustle culture yang dia jalani. Ya, gue tau dia punya hari libur untuk berselancar di pantai, tapi pekerjaan paruh waktunya bener-bener gak masuk akal.

Banyak penelitian atau professional kesehatan yang mengatakan bahwa budaya hustle culture itu bohong. Bekerja keras memang perlu, tetapi hindari memaksakan diri terlalu keras sehingga gak ada waktu luang untuk diri lo. Karena setiap manusia membutuhkan istirahat yang penuh, tak ada salahnya mengambil cuti untuk menghilangkan rasa lelah.

Baca juga: Burnout: Ini Tanda-tanda Kamu Mengalami Kelelahan Emosional

Tanda Lo Harus Memprioritaskan Ulang Diri Lo

prioritizing yourself - memprioritaskan diri sendiri
Sumber dari pixabay.com

Lo semua pasti udah diajari bahwa bekerja keras adalah hal yang baik, jadi bagaimana lo tahu ketika itu sudah menjadi masalah? Menurut Dion Metzger, M.D., seorang psikiater di Atlanta, ini semuanya tentang keseimbangan, dan lo harus memperhatikan skala prioritas lo.

“Lo semua berusaha untuk menyeimbangkan pekerjaan, hubungan, dan kesehatan. Lo akan tahu bahwa hustle culture lo sedang berada di puncaknya ketika mulai menghilangkan satu dari dua lainnya (hubungan dan kesehatan). Lo kurang tidur, makan-makanan gak sehat, atau membatalkan rencana dengan orang yang lo cintai. Inilah saat lo harus menarik garis,” katanya kepada Thrive.

“Skala lo gak lagi seimbang. Ini adalah saat ketika lo perlu mundur dari keramaian dan memprioritaskan ulang keseimbangan untuk mencegah kelelahan.”

Banyak dari kita baru benar-benar mulai menganggap serius kelelahan dan terlalu banyak bekerja ketika kita sakit secara fisik, tetapi kita seharusnya gak pernah sampai ke titik itu. Sebaliknya, waspadai tanda dan gejala kelelahan seperti tidur terganggu, kelelahan terus-menerus, pelupa, membuat kesalahan yang ceroboh, ketidakmampuan berkonsentrasi, dan rasa sakit yang gak dapat dijelaskan.

Jika lo memperhatikannya, hal itu adalah tanda yang jelas bahwa lo perlu memprioritaskan ulang, memperbarui, dan fokus pada kesejahteraan lo sendiri.

Baca juga: Waktu Habis buat Kerja? 5 Cara Menjaga Work-Life Balance

Ada Beberapa Solusi untuk Korban Hustle Culture

solusi hustle culture
Sumber dari pixabay.com

Bahkan, jika lo udah menjadi mangsa budaya hustle culture, sangat mungkin untuk diri lo mengubahnya. Lo dapat menjalani kehidupan dengan seutuhnya dan sambil mempertahankan dan bahkan meningkatkan kesehatan mental lo.

Kuncinya adalah beralih ke solusi standar, yaitu mengubah skala prioritas dalam kehidupan lo. Ini berarti memulai dengan perubahan perilaku kecil, yang lebih mungkin menjadi kebiasaan. Kita menyebutnya micro steps, dan inilah beberapa yang dapat lo coba untuk mengurangi stres dari budaya hustle culture dan untuk menjaga kesehatan mental lo.

Micro steps tersebut antara lain:

1. Nyatakan hari sudah berakhir, bahkan jika lo belum menyelesaikan semuanya

Benar-benar memprioritaskan berarti merasa nyaman dengan ketidaksempurnaan. Ketika lo meluangkan waktu untuk mengisi ulang, lo akan kembali siap untuk menangkap peluang.

Ini akan menjadi tantangan bagi orang-orang yang terbiasa terburu-buru, tetapi ini adalah hal yang penting untuk dimulai.

2. Pergi tidur beberapa menit lebih awal dari biasanya

Bahkan pergi tidur lima menit lebih awal di malam hari akan membuat perbedaan. Perubahan tambahan akan sangat kecil sehingga lo bahkan gak akan menyadarinya, tetapi setelah seminggu dampaknya akan signifikan. Mau tau kualitas tidur lo? Coba ikut tes kualitas tidur dari Satu Persen. Gratis!

3. Jadwalkan di kalender untuk sesuatu yang penting bagi lo

Baik pergi ke gym, pergi ke galeri seni, atau bertemu teman, menyetel pengingat akan membantu lo membuat diri lo lebih bertanggung jawab.

4. Simpan botol air di meja

Ketika lo selalu melakukan sesuatu, lo biasanya mudah lupa untuk tetap terhidrasi. Plus, mengisi ulang botol lo sepanjang hari akan memberi lo waktu istirahat dan kesempatan yang sangat dibutuhkan untuk menjauh dari meja lo dan terhubung dengan orang lain.

5. Ketika tiba di tempat kerja, berhenti sejenak dan tanyakan pada diri sendiri, “Kenapa ini penting?”

Penelitian menunjukkan bahwa makna adalah motivator terbaik. Ketika lo mempertimbangkan pentingnya pekerjaan lo dan dampak potensial, ini dapat membantu lo membedakan proyek mana yang benar-benar sepadan dengan waktu dan energi lo.

6. Luangkan waktu untuk tugas-tugas yang penting dengan memasukkan hal-hal yang paling gak penting ke daftar tugas

Jika ada aktivitas atau ambisi setengah hati dalam hidup lo yang menguras energi dan menjauhkan lo dari hal-hal penting, pertimbangkan untuk melepaskannya. Ketika lo memberi diri lo izin untuk melepaskan hal-hal yang gak terlalu lo pedulikan—entah itu belajar Bahasa Inggris atau belajar memasak—lo akan memiliki lebih banyak waktu dan energi tersisa untuk apa yang benar-benar lo hargai.

7. Setiap hari, habiskan waktu untuk orang yang spesial, bahkan jika lo sibuk

Membantu, mendengarkan, atau sekadar hadir untuk orang lain dapat bermanfaat bagi lo dan siapa pun yang lo bantu. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita menghabiskan waktu untuk orang lain, perasaan kita tentang waktu kita sendiri sebenarnya berkembang dan ketika kita terbiasa bekerja tanpa henti, membuat hubungan yang bermakna dengan orang lain sering kali gagal.

Selain dari beberapa hal yang gue sebutkan sebelumnya, kalau lo merasa bingung apakah lingkungan kerja lo saat ini toxic atau gak dan apakah gaya hidup yang lo jalani toxic atau gak, lo bisa ceritakan keluhan-keluhan yang lo rasakan yang mungkin selama ini hanya lo pendam sendirian kepada tenaga profesional dengan mengikuti layanan konseling bersama Satu Persen.

Masalah-masalah terkait diri dan kehidupan yang sulit terselesaikan dapat dibantu untuk dicari jalan keluarnya dengan konseling ini, lho. Lo bisa klik banner di bawah untuk kepoin dan daftar layanan ini, ya!

CTA-Blog-Post-06-1-20

Selain itu, lo juga bisa coba tonton video YouTube Satu Persen tentang Filosofi Hometown Cha-Cha-Cha di bawah ini, ya!

Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya, selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

Hustle Culture Is Actually Terrible for Our Mental Health. (n.d.). Retrieved November 6, 2021, from https://thriveglobal.com/stories/hustle-culture-constant-work-always-on-mental-health-tips/

Tren Hustle Culture Oleh Hong Du-sik Di Serial ‘Hometown Cha-Cha-Cha’  – Hallo Lifestyle. (n.d.). Retrieved November 6, 2021, from https://lifestyle.hallo.id/tren/pr-1791387762/tren-hustle-culture-oleh-hong-du-sik-di-serial-hometown-cha-cha-cha

Read More
judi

Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental dan Cara Mengatasi

Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental
Satu Persen – Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental

Halo, Perseners!

Kenalin aku Fathur, Part-time Blog Writer di Satu Persen.

Akhir-akhir ini banyak public figure terkenal yang tertimpa kasus skandal hingga membuat mereka ramai dihujat oleh netizen. Tapi, gimana kalau yang terkena skandal itu adalah artis favorit kalian? Apakah kalian masih ingin menjadi pendukungnya atau malah jadi menghujat karena kesalahannya?

Salah satu contoh kasusnya adalah kasus Kim Seon Ho, artis dari Negeri Ginseng yang terkenal dengan aktingnya di serial drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha. Kim Seon Ho menjadi sasaran amarah netizen ketika dituduh memaksa aborsi dan melakukan gaslighting kepada mantan pacarnya. Akibatnya, citra yang sudah dibangunnya selama ini menjadi runtuh karena satu berita buruk tentangnya.

Kemudian ada informasi lanjutan dari Dispatch yang mengatakan bahwa pernyataan dari mantan pacar Kim Seon Ho sebelumnya banyak yang gak sesuai fakta. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Kim Seon Ho tetap harus menghadapi masalah tersebut meskipun sudah mendapatkan simpati dari fansnya kembali.

Kim Seon Ho meme
Sumber: pinterest.com

Perseners tau gak, kalau yang dilakukan netizen ketika memboikot perilaku Kim Seon Ho atas skandalnya itu dinamakan cancel culture?

Istilah cancel culture ini sebenarnya sudah gak asing lagi bagi kalian yang sering bermain di media sosial. Tapi, kali ini aku bakal kasih tau Perseners soal cancel culture lebih lanjut biar kita paham bareng-bareng.

So, tetap baca sampai akhir, yah!

Baca juga: Gaslighting: Bentuk Abusive Relationship yang Mengarah Pada Kekerasan Seksual

Apa itu Cancel Culture?

Jika kita pisahkan terlebih dahulu, “cancel” mempunyai arti membatalkan, sedangkan “culture” sendiri memiliki pengertian sebagai budaya. Maka apa sih sebenarnya makna dari istilah “budaya membatalkan” ini?

Cancel culture adalah tindakan seseorang atau kelompok untuk menolak seseorang karena perilaku atau komentar yang dianggap salah oleh sebagian orang itu hal yang salah dan gak menyenangkan. Akibatnya, seseorang yang terkena cancel culture bisa aja didepak dari ruang lingkup sosialnya sendiri, bahkan dikucilkan oleh banyak orang.

Selain itu, hal gak menyenangkan pada cancel culture biasanya berupa tindakan dan komentar sensitif yang menyinggung tentang seksualitas, rasisme, agama, dan antargolongan (SARA). Misalnya dengan diketahuinya melakukan skandal yang memalukan, pandangan politik yang terlalu ekstrim yang berbeda, ataupun kasus seperti bullying kepada seseorang.

Sementara itu, karena aktivitas media sosial yang telah masif digunakan, membuat orang biasa pun dapat mengalami cancel culture dan sangat berdampak pada kesehatan mental. Nah, berikut hubungan cancel culture dengan kesehatan mental kita.

Dampak yang Dirasakan Korban Cancel Culture

Terlepas dari kebermanfaatan cancel culture untuk memerangi skandal penting dan isu mengenai SARA. Cancel culture juga memiliki dampak gangguan kesehatan mental bagi seorang individu yang menjadi korbannya.

1. Munculnya rasa malu

shy - malu
Sumber: kidsgrid.id

Dilansir dari Vogue, cancel culture sangat berdampak pada rasa malu karena telah diungkapkannya berbagai kesalahannya dan melanggar berbagai aturan sosial yang ada di masyarakat. Rasa malu ini juga akan berdampak pada diri kita secara langsung, bahkan menghantui setiap waktu dan di manapun berada. Misalnya ketika seseorang memviralkan video aib kamu dan menyebarkannya, ataupun hanya karena seutas tweet yang opininya sangat berbeda dengan aturan sosial pada umumnya.

Merasa malu memang wajar dan manusiawi. Tapi dengan adanya rasa malu, membuat seorang yang di­-cancel akan cenderung gak mengulangi perilaku tersebut. Oleh karenanya, orang yang bangkit dari rasa malu akan lebih teliti untuk kedepannya.

2. Rentan terkena cyberbullying

Cyber bullying meme
Sumber: imgflip.com

Media sosial memang sudah menjadi tempat penegakan hukum kedua setelah ruang pengadilan. Dalam beberapa menit seorang yang di-cancel bisa diserang secara verbal oleh ribuan orang secara terus-menerus karena satu kesalahan yang dibuat dalam media sosial. Cyberbullying ini bentuknya bermacam-macam, bisa jadi kamu dihujat oleh kata-kata kasar, diserang oleh komentar sinis, ataupun merendahkan kamu yang membuat kerugian secara pribadi.

Dalam jurnal yang diterbitkan pada tahun 2016, Chris Natalia mengatakan bahwa cyberbullying akan mengganggu kondisi psikis seseorang, bahkan bisa berdampak menyebabkan memakan korban. Hal ini diakibatkan karena adanya tekanan yang diterima secara berkepanjangan dan gak bisa dihandle oleh seorang yang di-cancel.

3. Terkena isolasi sosial dan kesepian

spongebob thinking meme
Sumber: pinterest.com

Terkena isolasi sosial atau dikucilkan dari masyarakat membuat seorang yang di-cancel akan menjadi lebih kesepian. Hal ini akan berdampak untuk memicu stres dan rasa cemas karena harus jauh dari orang terdekat dan lebih banyak merenung dalam kesendirian.

Selain itu, kesepian juga akan berdampak kepada kualitas fisik kamu. Misalnya kamu akan lebih lelah fisiknya karena kesepian membuat kamu lebih susah tidur. Alhasil, seorang yang di-cancel akan sulit untuk bisa produktif pada kesehariannya. Mau tau apakah kamu sedang merasa kesepian atau tidak? Coba deh ikut tes tingkat kesepian di sini.

Baca juga: Perbedaan Kesepian dan Kesendirian: Mana yang Berbahaya?

4. Mengharuskan tampil perfeksionis

patrick sempurna meme
Sumber: memegenerator.net

Tentu manusia sendiri adalah makhluk yang gak sempurna. Tapi dalam cancel culture semua orang akan mengabaikan sifat kita yang gak sempurna dan menghalangi potensi kita untuk berkembang.

Di saat seseorang terkena canceling, maka orang tersebut harus secepatnya untuk meminta maaf kesalahannya. Bahkan jika permintaan maaf yang terlalu cepat akan dianggap gak tulus, sedangkan permintaan maaf yang terlalu lama malah dianggap paksaan.

Maka dari itu, seorang yang di-cancel dituntut selalu cemas jika terjadi kesalahan yang sedang menimpannya dan lebih teliti agar tidak mengulangi di lain kesempatan.

5. Mengalami depresi

depression illustration
Sumber: pixabay

Seseorang yang terkena ­cancel culture akan banyak dibilang jahat dan gak berpendidikan. Semakin banyak masyarakat yang bilang kalau kamu itu jahat, maka semakin banyak juga pikiran yang berpotensi menyebabkan kamu depresi. Alhasil, kamu jadi sulit berpikir, kehilangan semangat, menurunnya perasaan

Maka dari itu, seorang yang depresi ketika terjadi cancel culture akan menyebabkan perasaan sedih selama berminggu-minggu. Bahkan setiap bangun kamu akan dilanda oleh rasa takut dan tegang di dada karena dihantui selalu oleh pikiran negatif.

Apa yang Kita Bisa Lakukan?

Sebenarnya banyak cara untuk mengatasi perasaan bersalah ketika kamu mengalami cancel culture. Kita pun gak bisa mengontrol perilaku orang lain melakukan canceling, maka yang paling ampuh adalah mengontrol perasaan dan pikiran kita sendiri. Hal ini juga dilakukan agar kamu gak terjebak dan larut dalam kesedihan akibat terkena canceling.

Selain itu, kamu juga bisa melatih untuk melakukan permintaan maaf di depan umum. Saat melakukan permintaan maaf, kamu gak boleh defensif dan harus mengakui kesalahan dengan tulus kepada korban atau masyarakat yang telah kamu rugikan

Tapi kalau kamu masih sulit untuk melakukan saran-saranku, juga kamu gak bisa menahan dampak akibat cancel culture. Maka aku saranin kamu bisa melakukan konseling ke Satu Persen.

Psikolog Satu Persen juga memiliki lisensi resmi, jadi kamu gak perlu khawatir lagi buat mencoba layanannya. Selain itu, Satu Persen juga punya banyak testimoni yang bisa kamu baca di website-nya. Kalau kamu mau kepoin lebih lanjut tentang layanan konseling Satu Persen, kamu bisa klik banner di bawah ini, ya!

CTA-Blog-Post-06-1-23

Akhir kata, aku Fathur Rachman pamit undur diri. Selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

Chris, N. (2016). Remaja, Media Sosial dan Cyberbullying. Jurnal Ilmiah Komunikasi, 5(2), 119–139.

Silverton, L. (2021). All The Reasons Why Cancel Culture Is So Toxic For Our Mental Health. Vogue.Co.Uk. https://www.vogue.co.uk/beauty/article/cancel-culture-toxic-for-mental-health

Rutledge, P. (2021). Cancel Culture: Accountability or Bullying? Psychologytoday.Com. https://www.psychologytoday.com/us/blog/positively-media/202103/cancel-culture-accountability-or-bullying

Read More
judi

Mengedukasi Masyarakat tentang Budaya Pemerkosaan (Rape Culture)

Budaya Pemerkosaan - Rape Culture
Satu Persen – Budaya Pemerkosaan

Editor’s Note: Sebelum lo membaca artikel ini, gue mau kasih tau dulu kalau beberapa hal yang dibawain di sini bakalan mengandung bahasan yang sensitif. Jadi, buat lo yang mudah ke-triggered, mungkin lo bisa persiapkan diri lo lebih dulu atau coba baca artikel-artikel yang lain aja, ya!


Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

Gue Dimas Yoga dan kali ini gue mau bahas suatu isu hangat yang bikin gue marah. Beberapa minggu ini, jagat media sosial tengah menjadi perbincangan hangat karena berita pemerkosaan yang dialami oleh seorang perempuan di mana Novia Widyasari (gue gak mau menutupi atau menyingkat namanya, sebab dia bukan aib) menjadi korban pemerkosaan oleh pacarnya sendiri dengan modus pemberian obat-obatan.

Dia meminta pertanggungjawaban pacarnya, tapi pacarnya malah memintanya untuk menelan sebanyak-banyaknya pil aborsi. Dia meminta bantuan kepada paman-pamannya, namun dia justru dianggap sebagai sebuah aib yang mencoreng nama baik keluarga.

Bahkan, ketika berita pemerkosaan ini beredar luas, masih ada aja segelintir oknum yang menganggap bahwa ini adalah sebuah hal yang sangat wajar dan beberapa dari oknum tersebut bahkan ada yang mengatakan:

Kenapa gak menikmatinya saja?

Lagian mau aja berduaan di hotel,

Atau bahkan parahnya lagi ada yang mengatakan, “Udah dua kali diperkosa kok baru sekarang melapor? Berarti sebelum-sebelumnya menikmati, dong?

Sungguh miris bukan, Perseners?

Perkataan-perkataan dari beberapa oknum tersebut mengungkapkan bahwa rape culture atau budaya pemerkosaan adalah suatu hal yang dianggap wajar dan normal karena sikap masyarakat terhadap gender dan seksualitas.

Karena lagi ngomongin tentang kasus yang dialami oleh Novia Widyasari nih, di artikel kali ini gue akan membahas tentang rape culture atau budaya pemerkosaan dan bagaimana cara agar lo dapat mengedukasi tentang budaya pemerkosaan. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo, ya. Selamat membaca!

Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!

Baca juga: Rape Trauma Syndrome: Kenapa Penderitanya Perlu Konseling Online?

Apa Itu Budaya Pemerkosaan atau Rape Culture?

Berita pemerkosaan - Budaya pemerkosaan - Rape culture
Sumber dari hannahbarczyk.com

Percaya atau enggak, budaya pemerkosaan atau rape culture sudah merajalela dari dulu. Budaya ini  tertanam dalam bagaimana cara kita berpikir, berbicara, dan bergerak di dunia. Meskipun konteksnya mungkin berbeda, budaya pemerkosaan atau rape culture ditemukan selalu berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki.

Budaya pemerkosaan atau rape culture adalah lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan. Hal ini didorong oleh ketidaksetaraan gender yang terus-menerus dan sikap tentang gender dan seksualitas. Penamaan itu adalah langkah awal untuk membongkar budaya pemerkosaan ini.

Setiap hari kita memiliki kesempatan untuk memeriksa perilaku dan keyakinan kita untuk bias yang memungkinkan budaya pemerkosaan untuk terus berlanjut. Dari sikap yang kita miliki tentang identitas gender hingga kebijakan yang kita dukung di komunitas kita, kita semua dapat mengambil tindakan untuk melawan budaya pemerkosaan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang.

By the way, ada satu video dari YouTube Satu Persen yang juga ngebahas tentang kasus ini. Lo bisa cek videonya di bawah ini, ya!

YouTube Satu Persen – Alasan Kenapa Indonesia Darurat Empati

Cara yang Dapat Lo Lakukan untuk Mengedukasi tentang Budaya Pemerkosaan atau Rape Culture

1. Fokus kepada korban

Rape Culture - Budaya Pemerkosaan
Sumber dari hannahbarczyk.com

Menurut gue cara ini sering dilupakan oleh banyak orang. Bahkan ketika korban pelecehan seksual membutuhkan ketenangan pikiran. Nggak dapat dipungkiri, peristiwa yang dialaminya dapat menimbulkan shock berat, bahkan mampu menghilangkan rasa percaya diri. Sebagian besar dari kita sering terlalu fokus pada pelaku dan memikirkan apa yang harus dilakukan sehingga justru lupa dengan perasaan korban.

Karena itu, jika lo melihat pelecehan seksual di sekitar lo, jangan ragu untuk memberikan ketenangan kepada korban. Misalnya, tanyakan apa yang dapat lo lakukan, perlu menemani atau nggak, dan  sebagainya. Dengan memberikan kepercayaan kepada korban pelecehan seksual, mereka dapat terbantu dan kembali percaya diri.

Hal-hal seperti itu bisa membuat korban jadi nggak merasa sendirian dan merasa bahwa masih banyak orang-orang di dunia ini yang sangat peduli kepadanya. Perlu diingat, menjadi korban dari pelecehan seksual adalah suatu hal yang berat karena mereka akan merasa bahwa dunia ini tidak adil dan mungkin jalan satu-satunya adalah pergi jauh. Jadi, bantu tenangkan mereka ya, Perseners.

3. Fokus kepada edukasi diri

Cara termudah yang dapat kita lakukan adalah dengan mengedukasi diri sendiri. Jika kita bisa memahami dan mengenali bentuk budaya pemerkosaan, kita nggak akan tinggal diam ketika orang-orang di sekitar kita dan orang lain mengalami hal ini. Kita secara naluriah akan membantu mereka sekuat tenaga kita.

Ada banyak cara untuk mengedukasi diri, seperti berdiskusi, mengikutsertakan diri untuk menyuarakan suara korban, dan menentang normalisasi budaya pemerkosaan. Lo juga bisa memberikan informasi tentang gender, toleransi, dan kelompok minoritas dari buku, penelitian, atau media terpercaya.

Dengan pengetahuan yang benar, lo akan menemukan bahwa ini adalah hal yang salah untuk dilakukan. Maka yang lo lakukan bukanlah menertawakan atau mengejek, tetapi menempatkan diri bersama mereka untuk melindungi para korban dan membantu mereka melaporkan kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami.

Nggak peduli dari mana pelaku berasal, tanpa memandang status sosial atau asal-usul lainnya, pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan tentunya, korban harus dilindungi.

4. Bantu sebar awareness

Rape Culture - Budaya Pemerkosaan
Sumber dari hannahbarczyk.com

Selain itu, kita harus menyebarkan informasi dan pengetahuan yang kita terima kepada orang banyak agar budaya pemerkosaan tidak berkembang ke generasi berikutnya. Semakin anak muda memahami makna budaya pemerkosaan, semakin banyak  korban yang berani speak up.

“We hear you. We see you. We believe you.”

Mari bersama-sama ciptakan tempat yang aman bagi para korban dan penyintas.

Dan jika lo atau teman, keluarga atau kerabat lo mengalami kekerasan dan membutuhkan bantuan, dukungan, atau layanan lainnya. Lo dapat menghubungi titik layanan terdekat dan silakan mengakses @carilayanan @KomnasPerempuan @LBHAPIK atau penyedia layanan lainnya.

Menurut gue, isu ini sangat serius dan cukup berat. Nggak semua orang cukup kuat untuk menghadapinya. Tapi, kalo lo ngerasa ketika lo membaca atau mendengar berita seperti ini merasa nggak tenang, lo berarti butuh bantuan. Misalnya dengan ikut di layanan mentoring di Satu Persen.

Di sini, lo bisa cerita sama mentor-mentor di Satu Persen. Bareng-bareng cari solusi dari masalah yang lo hadapi tentunya lewat worksheet yang dibuatkan sesuai dengan masalah lo dan tentunya agar lebih mengenal diri sendiri melalui berbagai psikotes.

Caranya gampang banget, lo bisa langsung aja klik banner di bawah ini.

Mentoring-5

Kalau lo masih ragu buat ikut mentoring, lo bisa coba tes konsultasi dulu ya. Selain itu, lo juga bisa mendapatkan informasi lain mengenai kesehatan mental di channel YouTube Satu Persen. Dan jangan lupa buat dapetin informasi menarik lainnya di Instagram, Podcast, dan blog Satu Persen ini tentunya.

Ingatlah selalu bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahan  korban!

Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

16 ways you can stand against rape culture | UN Women. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.unwomen.org/en/news/stories/2019/11/compilation-ways-you-can-stand-against-rape-culture

Rape culture isn’t a myth. It’s real, and it’s dangerous. – Vox. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.vox.com/2014/12/15/7371737/rape-culture-definition

Sering Dinormalisasi, Sudah Saatnya Rape Culture Dihentikan untuk Selamatkan Korban. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.beautynesia.id/berita-others/sering-dinormalisasi-sudah-saatnya-rape-culture-dihentikan-untuk-selamatkan-korban/b-242071

Read More