putinvzrivaetdoma.org

media online informasi mengenai game online tergacor di tahun 2023

Bahaya

judi

Bahaya Curhat Online di Media Sosial Sembarangan

bahaya-curhat-online
bahaya curhat online

Halo, Perseners! How’s life?

Kenalin, gue Hana. Gue di sini menulis sebagai associate writer dari Satu Persen.

Di era serba teknologi kayak gini, gue yakin kalian pasti punya yang namanya media sosial, entah itu Whatsapp, Instagram, Twitter, atau yang lainnya. Beberapa dari kalian mungkin kenal sama Satu Persen juga dari media sosial.

Well, wajar banget, sih. Media sosial kan emang tempat orang-orang buat berbagi apa aja. Dari momen hangout, hiburan, konten edukatif, sampe jualan pun kita lakukan di media sosial.

Dan gak cuma itu. Kita bahkan juga bisa temuin banyak orang yang berbagi cerita sehari-hari—alias curhat online di media sosial! Bener gak?

Saking gedenya pengaruh media sosial di keseharian kita, curhat pun akhirnya juga dilakukan dengan memposting status, alih-alih cerita langsung sama teman atau keluarga. Gak cuma jadi pencurhat, kita juga ngebacain curhatan orang lain yang berseliweran bebas di timeline media sosial kita.

Habis berantem sama pacar? Tinggal ambil hape terus luapin semua kekesalan lewat ketikan.

Pastinya, kalo curhat di media sosial, akan ada lebih banyak orang yang tahu masalah kita. Dengan begitu, mudah juga bagi kita buat dapat banyak respon dengan cepat. Jadi, kita gak perlu capek-capek cerita ke setiap teman kita. Praktis banget, ya?

Bisa jadi, kemudahan itu menjadi faktor penyebab banyaknya orang yang curhat di media sosial. Saking banyaknya, penelitian yang dilakukan oleh Martin dan asistennya di tahun 2013 menunjukkan bahwa 46 persen dari pengguna Twitter sering nge-tweet curhatan yang isinya emosi negatif. Alias hampir setengah dari seluruh pengguna!

Sedangkan, faktor lain yang mendukung perilaku ngetren tersebut mungkin karena gak punya teman curhat di dunia nyata, gak terbiasa mengomunikasikan perasaan secara langsung, menginginkan perhatian dari orang lain atas masalahnya, merasa lebih bebas karena gak ada yang lihat langsung, dan lain-lain. Tentunya, setiap orang punya alasannya masing-masing.

Kalo gitu, sebenarnya baik gak sih curhat online di media sosial kita?

Nah, di artikel kali ini, gue bakal membahas tentang curhat online berdasarkan penelitian para ahli dan tips-tips melampiaskan emosi dengan cara yang lebih sehat.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Martin tadi, mereka juga mendapat laporan bahwa 100 persen orang yang curhat online merasa lebih rileks.

Tapi, mereka menemukan bahwa ketenangan itu cuma sementara aja, guys. Ternyata, curhat dengan cara kayak gini justru bikin emosi seseorang lebih sulit mereda, sehingga berakibat buruk dalam jangka panjang.

Bennet, seorang psikolog, pernah punya klien yang mengaku bahwa dia malah merasa semakin marah setelah melampiaskan emosi dan membaca kekesalan orang lain di media sosial.

Artinya, cara seperti ini sebenarnya merusak secara emosional. Bennet lebih nyaranin buat curhat secara langsung sama teman dekat aja, karena baik untuk kesehatan kita.

Baca Juga: Cara Mengontrol Emosi (Regulasi Emosi Diri Sendiri)

Gimana kalo saat itu gak ada teman yang siap dengerin?

Well, penelitian lain yang dilakukan oleh Bushman menunjukkan bahwa kalo kita gak ngelakuin apa pun saat marah selama dua menit, kekesalan kita malah berkurang, lho!

Jadi, lebih baik kita take some time buat diri sendiri dulu, alih-alih langsung membagikan perasaan kita di media sosial.

Selain itu, McNaughton-Cassill juga berpendapat bahwa orang-orang harus lebih pintar dalam memposting dan membagikan sesuatu di media sosial. Jadi, kalo kita curhat dengan cara yang kurang tepat (misalnya marah-marah di status), efeknya berbahaya bagi kesehatan.

curhat-media-sosial-bahaya-kesehatan-mental
Gambar oleh ijmaki dari Pixabay

Mungkin lo jadi mikir, “Jadi, melampiaskan amarah di media sosial itu gak disarankan, ya? Terus gimana, dong? Apa mendingan gue diem aja?”

Nah, seorang psikiater di San Diego yang bernama Dr. David M. Reiss berpendapat bahwa melampiaskan emosi itu sebenarnya ada efek baiknya, asalkan caranya tepat. Satu cara yang disarankan oleh Dr. Reiss adalah berdialog sama teman yang bisa ngertiin dan ngebantu kita supaya lebih merasa tenang.

Jadi, kita bisa sama-sama simpulin bahwa sebenarnya lebih efektif kalo kita membangun komunikasi sama teman dan ngobrol secara langsung—ketimbang curhat online di status media sosial kita. Gak cuma lebih efektif, tapi juga lebih sehat, guys!

Baca juga: Bingung Mau Curhat ke Siapa

Mengatasi emosi negatif tanpa curhat online

Emosi negatif emang gak baik kalo dibiarkan aja terus-menerus. Wajar aja kok, kalo kita butuh pelampiasan untuk mengurangi perasaan gak enak tersebut.

Nah, gimana sih cara mencurahkan perasaan kita dengan cara yang lebih sehat?

1. Tutup media sosial, coba meditasi instead of curhat online

Jangan fokus sama isi hape lo terus, deh. Cobain lebih fokus sama diri sendiri aja, yuk?

Meditasi adalah salah satu cara supaya kita bisa lebih aware sama emosi yang kita rasakan. Nah, melakukan meditasi ini emang perlu pembiasaan, guys.

Tapi, sekalinya lo udah bisa, meditasi ini bisa ngebantu lo dalam situasi apa pun dan di mana pun. Jadi, lo gak perlu lagi yang namanya curhat di media sosial.

Tonton juga: Meditasi Sederhana untuk Pemula

2. Ganti waktu curhat online dengan kegiatan positif

Kegiatan positif yang gue maksud di sini bisa apa aja ya, Perseners. Yang penting, kegiatan ini bisa membantu lo mengurangi perasaan negatif.

Lo bisa melampiaskan emosi lo dengan berolahraga, nge-dance, nyanyi keras-keras, membuat karya seni, nulis diary, dan lain-lain.

3. Lebih baik proaktif daripada curhat online

Ada kalanya, sebuah masalah bisa selesai kalo kita ada action buat mengatasi sumber masalahnya langsung. Misal, lo stres banget gara-gara temen lo gak aktif ngerjain tugas kelompok. Nah, lo kan bisa bilang baik-baik supaya dia mau bantu ngerjain tugas.

Kalo masalahnya udah mengarah ke hubungan toxic, ada baiknya lo berinisiatif buat udahan aja. Hubungan yang gak sehat udah pasti bikin lo frustrasi terus-menerus. Setelah move on dari sumber negatif yang mengganggu hidup lo, selalu ada kesempatan buat nemu yang lebih baik, kok!

Nah, kalo emang memungkinkan, cara ini bisa banget dicoba, lho!

4. Curhat sama orang terpercaya, jangan curhat online

Seperti yang udah gue bilang sebelumnya, curhat sama temen yang lo percaya itu emang disarankan.

Tapi, gimana kalo gak punya orang yang bisa dipercaya?

Well, masih ada cara lain, yaitu berkonsultasi ke tenaga profesional seperti psikolog.

Gak cuma curhat, psikolog juga menyediakan benefit tambahan seperti ngajarin lo cara komunikasi yang baik, ngasih tips-tips untuk mengatasi masalah lo, memperluas pikiran lo dengan insight baru, dan lain-lain.

curhat-sama-psikolog-lebih-baik
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Jadi, kalo lo mau curhat di status media sosial lo, ada baiknya dipikir-pikir dulu, guys. Karena, cara seperti itu kurang disarankan dari sudut pandang keilmuan.

Ada cara lain yang sebenernya lebih solutif buat mengatasi masalah lo. Salah satunya dengan cara tadi, yaitu ngobrol.

Mungkin lo bingung nyari psikolog yang cocok dan enak diajak ngobrol. Well, lo bisa coba layanan konseling bersama psikolog di Satu Persen, lho! Lo bisa pilih sendiri psikolog dan jadwal konsultasinya. Enak banget, kan?

Selain berkonsultasi, lo juga bakal dikasih asesmen mendalam, diagnosa, dan terapi apabila dibutuhkan. Tenang aja, lo bakal ditangani langsung sama psikolog lulusan S2 profesi yang sesuai di bidangnya.

Tentunya, konseling sama psikolog di Satu Persen bisa lebih ngebantu, jadi lo gak perlu curhat di media sosial lagi, deh 😀

Nah, sebelum beli paket layanan konseling dari Satu Persen, yuk cari tau dulu paket mana yang paling sesuai sama kebutuhan lo! Caranya, cobain tes yang ada di sini.

Lo juga bisa nonton video di channel YouTube Satu Persen buat dapetin insight tambahan mengenai curhat online di media sosial. Yuk, simak langsung di video berikut.

bahaya curhat online di medsos

Oke, gue sudahi dulu tulisan gue di sini. Semoga bermanfaat dan bisa ngebantu lo. Gue harap, lo bisa ketemu sama orang yang tepat buat dicurhatin dan bisa menggunakan media sosial lo dengan lebih bijak.

Gak masalah berkembang pelan-pelan, yang penting ada proses minimal Satu Persen setiap hari menuju #HidupSeutuhnya 🙂

Akhir kata, thanks a million!

Referensi

Healthline Editorial Team. (November 21, 2017). Are Online Rants Good for Your Health?. Retrieved on January 22, 2021 from https://www.healthline.com/health-news/are-online-rants-good-for-your-health.

Lindberg, S. (October 23, 2020). Benefits and Options for Therapy. Retrieved on January 22, 2021 from https://www.healthline.com/health/benefits-of-therapy.

Sachan, D. (October 25, 2017). The Dangers of Venting. Retrieved on January 22, 2021 from https://www.success.com/the-dangers-of-venting/.

Roberts, C. (November 16, 2019). 5 healthier ways to deal with anger instead of venting. Retrieved on January 25, 2021 from https://www.cnet.com/health/5-healthier-ways-to-deal-with-anger-instead-of-venting/.

Read More
judi

Bahaya Self-Diagnosis, Asal Menebak Penyakit dari Internet

Bahaya Self-diagnosis
Satu Persen – Bahaya Self-diagnosis

Hai semua! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen.

Hari ini aku seneng banget karena sepupuku lagi main ke rumahku, kebetulan dia memang sedang libur kerja. Niatnya sih, menyempatkan waktu buat aku sekalian melepas penat dari hectic-nya pekerjaan. Aku dan sepupuku duduk santai di beranda rumahku sambil nikmatin udara yang gak sejuk-sejuk amat. Belum lama kita duduk, aku dibuat kaget olehnya karena tiba-tiba dia cerita kayak gini, nih:

S: “Kayaknya aku bipolar, deh.”

A: “Kok bisa tahu, Kak?”

S: “Akhir-akhir ini mood-ku sering berubah-ubah, ngerasa putus asa, dan cemas. Aku habis nyari di internet, katanya itu tanda-tanda gangguan bipolar.”

A: “Udah coba periksa ke psikolog atau psikiater, Kak? Siapa tahu bukan.”

S: “Belum, aku takut.”

Nah, siapa yang suka kayak gini? Kalau ngerasain suatu keluhan penyakit, sukanya langsung browsing di internet. Terus setelah baca informasi di internet, kalian langsung menduga-duga penyakit tertentu tanpa ada diagnosis langsung dari profesional?

Hmm, kalau iya nih, berarti kalian lagi ngelakuin self diagnosis, Perseners!

Apa Itu Self-Diagnosis?

Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Padahal informasi yang tersedia di internet seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine.

Sering ketika mendapatkan suatu informasi penyakit, kita langsung menyimpulkan apa yang kita ketahui tanpa mengonsultasikan lebih spesifik kepada profesional. Padahal informasi yang tersebar di luar sana, ada yang bersifat mentah dan butuh proses pemahaman lebih lanjut untuk dapat dikonsumsi oleh pembaca.

Contohnya seperti yang dilansir Psychological Today bahwa orang yang sering mengalami mood swing biasanya mendiagnosis dirinya terkena gangguan bipolar. Padahal, perubahan suasana hati atau mood swing tidak hanya merujuk pada penyakit bipolar saja, namun dapat mengindikasikan gangguan kepribadian ambang atau depresi berat.

Self-diagnosis meme
Cr: memegenerator.net

Alasan Melakukan Self-Diagnosis

1. Takut Sama Psikolog atau Ahli Lainnya

Alasan banyak orang memilih lebih percaya informasi yang ada di internet adalah karena mereka takut pada apa yang dikatakan oleh psikolog atau ahli lainnya mengenai keluhan penyakitnya. Jangan-jangan gejala yang dirasakan merupakan penyakit yang fatal dan ternyata gak bisa disembuhkan oleh ahli sekalipun.

2. Kurangnya Kepercayaan Terhadap Para Ahli

Alasan lainnya adalah kurangnya kepercayaan pasien terhadap dokter, psikolog, psikiater, atau ahli lainnya. Banyak yang percaya bahwa tenaga ahli melakukan malpraktek sehingga seenaknya mendiagnosis suatu penyakit.

Cobain Yuk, Tes Sehat Mental

Apa Aja Bahaya Self-Diagnosis?

1. Risiko Salah Diagnosis

Seperti yang aku sebutin di atas, menduga-duga penyakit secara mandiri berisiko buat salah diagnosis. Aku contohin semisal penyakit tumor otak. Kita tidak bisa mengidentifikasi penyakit tumor otak hanya berpegang pada informasi dari internet semata. Sebab, harus ada prosedur pemeriksaan lebih mendalam yang dilakukan oleh dokter sampai bisa mendiagnosis bahwa itu benar tumor otak.

Apabila kita gegabah mendiagnosis penyakit, akibatnya bisa fatal, loh! Seperti timbulnya gangguan depresi hingga nekat bunuh diri.

2. Risiko Salah Obat

Tanpa pengawasan dan persetujuan profesional, kita berisiko salah meresepkan obat  untuk diri kita sendiri, Perseners! Ada risiko kemungkinan keracunan obat di dalam tubuh.

Semisal kita lagi mencari solusi buat nurunin berat badan. Ada beberapa artikel di internet yang memberi tips untuk minum obat diet. Padahal mengkonsumsi obat diet sembarangan tanpa teruji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berisiko mengganggu sistem pencernaan, jantung, tekanan darah, dan lain-lain.

3. Sulit Mempercayai Kenyataan

Banyak dari kita yang akhirnya memilih pergi memeriksakan diri kepada profesional. Namun setelah mendapatkan diagnosis penyakit dari ahli, kita kemudian lebih memilih untuk mempercayai informasi yang dibaca dari internet. Hal ini membuat para ahli kesulitan menyadarkan pasiennya. Sehingga dalam situasi ini, para ahli harus menenangkan pasien untuk menerima kenyataan yang ada.

4. Risiko Penanganan Mandiri yang Salah

Informasi pengobatan atau penanganan penyakit yang didapat dari internet tidak bisa jadi patokan untuk semua orang. Karena setiap orang punya riwayat penyakit yang berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui riwayat medis kita guna menangani diri sendiri secara benar.

Contohnya, orang yang memiliki riwayat penyakit bipolar penanganannya berbeda dengan orang yang baru saja memiliki indikasi terkena bipolar.

5. Pemborosan Uang

Setelah mendiagnosis diri orang cenderung memesan produk atau obat-obatan sesuka hati. Dampaknya, tidak hanya merugikan kesehatan tetapi juga menyebabkan pemborosan uang, mengingat obat itu kemungkinan tidak efektif untuk mengobati suatu penyakit.

Self-diagnose meme
Cr: Pinterest.com

Baca juga: Ketahui Kondisi Mentalmu dengan General Health Questionnaire

Terus, Bagaimana Kalau Kita Gak Puas Sama Diagnosis Para Ahli?

Pada dasarnya jika pasien tidak puas dengan diagnosis para ahli, pasien bisa mencari second opinion. Mencari pendapat kedua yang berbeda adalah hak seorang pasien dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatan. Hak yang dipunyai pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari ahli lainnya.

Self-diagnose meme
Cr: imgflip.com

Nah, semisal Perseners lagi memeriksakan diri ke suatu biro konsultasi psikolog atau psikiater non Satu Persen. Namun, kalian ngerasa belum puas atau ragu sama jawaban psikolog atau psikiater itu. Kalian bisa banget konseling sama Satu Persen buat dapet second opinion dengan klik banner di bawah ini!

CTA-Blog-Post-06-1-7

Atau mungkin kalau kalian udah bener-bener percaya sama layanan Satu Persen, kalian juga bisa langsung konseling kok, apabila merasakan suatu gejala tertentu. Satu Persen di sini bakal hadir dengan tulus buat memberikan opini pertama dan kedua buat kalian. Intinya jangan sampai self-diagnosis, ya!

So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini ngebantu kalian buat dapet pencerahan. Sampai jumpa lagi!

Referensi:

Akbar MF. Analisis Pasien Self-diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. 2019

The Issues and Risks of Self-Diagnosis

https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Read More
judi

Tren Hustle Culture di Drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha: Bahaya kah?

tren hustle culture - hometown cha-cha-cha
Satu Persen – Tren Hustle Culture

Halo, Perseners! Gimana kabarnya?

Siapa sih yang gak tau drama Korea ‘Hometown Cha-Cha-Cha’ yang lagi hits saat ini di kalangan kawula muda hingga dewasa khususnya di Indonesia? Drama korea satu ini diperankan oleh Shin Min-A (Hyon Hye-Jin) dan Kim Seon-Ho (Hong Du-Sik) yang menceritakan seorang wanita yang pindah dari Seoul ke sebuah desa bernama Gongjin sebagai dokter gigi dan seorang pria yang ahli dalam berbagai bidang pekerjaan.

Kim Seon-Ho berperan sebagai Hong Du-Sik, seorang pemuda desa yang serba bisa dengan banyak kualifikasi kerja. Karakter Hong Du-Sik yang diperankan oleh Kim Seon-Ho ini disambut sebagai pemuda yang hampir sempurna sebagai “pengangguran” yang sibuk, tampan, dan pekerja keras. Padahal, yang dilakukan Hong Du-Sik adalah sebuah gaya hidup toxic, tren kekinian yang payah atau biasa disebut hustle culture.

Nah, di artikel kali ini gue akan membahas tentang hustle culture. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo. Selamat membaca!

Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!

Apa Itu Hustle Culture?

Drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha
Sumber dari wolipop.detik.com

Hustle culture adalah tren di mana sebuah mentalitas yang harus selalu diuji, bekerja sampai kelelahan adalah sebuah kehormatan, dan pekerjaan serta identitas lo adalah satu dan sama.

Bagi mereka yang masih mencernanya, hustle culture adalah sebuah kebiasaan toxic dan gak sehat yang terkait dengan pekerjaan. Orang-orang meromantisasi diri mereka sebagai pekerja keras siang dan malam. Gak peduli apa yang dia lakukan, dia selalu hidup untuk bekerja, bekerja, dan bekerja.

Sering kali, kesibukan ini berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Ada yang mengalami kurang tidur dan insomnia, ada yang kerja kerja kerja terus tipes, dan gak jarang ada yang mengalami depresi.

Dr. M. Tasdik Hasan, peneliti kesehatan mental global, mengatakan, “Hubungan langsung antara kerja berlebihan dan kesehatan mental dapat mengganggu ritme biologis tubuh dan membahayakan kesehatan mental tubuh.”

Konsep kerja keras alias hard working itu gak masalah, tapi kalau berlebihan itu yang buruk. Kita gak perlu memamerkan setiap tetes darah terakhir untuk sebuah pekerjaan, menempatkan diri kita dalam bahaya dan memaksa pekerjaan apa pun untuk menjadi sempurna hanya karena persaingan di antara rekan kerja. Perseners, ingat deh, uangnya gak banyak, kenapa lo ingin bekerja begitu keras?

Hong Du-Sik bukanlah pekerja kantoran yang setiap hari melihat laptopnya seperti lo maupun gue. Dia dalam drama Korea ‘Hometown Cha-Cha-Cha’ lebih tepat disebut sebagai pengangguran. Tapi, Hong Du-Sik bisa apa aja, loh. Mulai dari perbaikan kapal, bartender, juru lelang, perbaikan listrik, agen persewaan gedung, bahkan bekerja semalaman di sauna semua bisa dilakukan.

Gak main-main, Hong Du-Sik juga bersertifikat untuk semua pekerjaan paruh waktunya. Banyak deh, jumlahnya. Jadi, jangan heran jika dia sangat suka memakai rompi dan celana dengan banyak kantong, ya. Karena kantong-kantong itu untuk memasukkan semua sertifikasi dan peralatannya.

Ketika banyak kawula muda kagum melihat sosok Hong Du-Sik saat menonton Hometown Cha-Cha-Cha, gue justru khawatir pria tampan itu akan stres dan sakit karena hustle culture yang dia jalani. Ya, gue tau dia punya hari libur untuk berselancar di pantai, tapi pekerjaan paruh waktunya bener-bener gak masuk akal.

Banyak penelitian atau professional kesehatan yang mengatakan bahwa budaya hustle culture itu bohong. Bekerja keras memang perlu, tetapi hindari memaksakan diri terlalu keras sehingga gak ada waktu luang untuk diri lo. Karena setiap manusia membutuhkan istirahat yang penuh, tak ada salahnya mengambil cuti untuk menghilangkan rasa lelah.

Baca juga: Burnout: Ini Tanda-tanda Kamu Mengalami Kelelahan Emosional

Tanda Lo Harus Memprioritaskan Ulang Diri Lo

prioritizing yourself - memprioritaskan diri sendiri
Sumber dari pixabay.com

Lo semua pasti udah diajari bahwa bekerja keras adalah hal yang baik, jadi bagaimana lo tahu ketika itu sudah menjadi masalah? Menurut Dion Metzger, M.D., seorang psikiater di Atlanta, ini semuanya tentang keseimbangan, dan lo harus memperhatikan skala prioritas lo.

“Lo semua berusaha untuk menyeimbangkan pekerjaan, hubungan, dan kesehatan. Lo akan tahu bahwa hustle culture lo sedang berada di puncaknya ketika mulai menghilangkan satu dari dua lainnya (hubungan dan kesehatan). Lo kurang tidur, makan-makanan gak sehat, atau membatalkan rencana dengan orang yang lo cintai. Inilah saat lo harus menarik garis,” katanya kepada Thrive.

“Skala lo gak lagi seimbang. Ini adalah saat ketika lo perlu mundur dari keramaian dan memprioritaskan ulang keseimbangan untuk mencegah kelelahan.”

Banyak dari kita baru benar-benar mulai menganggap serius kelelahan dan terlalu banyak bekerja ketika kita sakit secara fisik, tetapi kita seharusnya gak pernah sampai ke titik itu. Sebaliknya, waspadai tanda dan gejala kelelahan seperti tidur terganggu, kelelahan terus-menerus, pelupa, membuat kesalahan yang ceroboh, ketidakmampuan berkonsentrasi, dan rasa sakit yang gak dapat dijelaskan.

Jika lo memperhatikannya, hal itu adalah tanda yang jelas bahwa lo perlu memprioritaskan ulang, memperbarui, dan fokus pada kesejahteraan lo sendiri.

Baca juga: Waktu Habis buat Kerja? 5 Cara Menjaga Work-Life Balance

Ada Beberapa Solusi untuk Korban Hustle Culture

solusi hustle culture
Sumber dari pixabay.com

Bahkan, jika lo udah menjadi mangsa budaya hustle culture, sangat mungkin untuk diri lo mengubahnya. Lo dapat menjalani kehidupan dengan seutuhnya dan sambil mempertahankan dan bahkan meningkatkan kesehatan mental lo.

Kuncinya adalah beralih ke solusi standar, yaitu mengubah skala prioritas dalam kehidupan lo. Ini berarti memulai dengan perubahan perilaku kecil, yang lebih mungkin menjadi kebiasaan. Kita menyebutnya micro steps, dan inilah beberapa yang dapat lo coba untuk mengurangi stres dari budaya hustle culture dan untuk menjaga kesehatan mental lo.

Micro steps tersebut antara lain:

1. Nyatakan hari sudah berakhir, bahkan jika lo belum menyelesaikan semuanya

Benar-benar memprioritaskan berarti merasa nyaman dengan ketidaksempurnaan. Ketika lo meluangkan waktu untuk mengisi ulang, lo akan kembali siap untuk menangkap peluang.

Ini akan menjadi tantangan bagi orang-orang yang terbiasa terburu-buru, tetapi ini adalah hal yang penting untuk dimulai.

2. Pergi tidur beberapa menit lebih awal dari biasanya

Bahkan pergi tidur lima menit lebih awal di malam hari akan membuat perbedaan. Perubahan tambahan akan sangat kecil sehingga lo bahkan gak akan menyadarinya, tetapi setelah seminggu dampaknya akan signifikan. Mau tau kualitas tidur lo? Coba ikut tes kualitas tidur dari Satu Persen. Gratis!

3. Jadwalkan di kalender untuk sesuatu yang penting bagi lo

Baik pergi ke gym, pergi ke galeri seni, atau bertemu teman, menyetel pengingat akan membantu lo membuat diri lo lebih bertanggung jawab.

4. Simpan botol air di meja

Ketika lo selalu melakukan sesuatu, lo biasanya mudah lupa untuk tetap terhidrasi. Plus, mengisi ulang botol lo sepanjang hari akan memberi lo waktu istirahat dan kesempatan yang sangat dibutuhkan untuk menjauh dari meja lo dan terhubung dengan orang lain.

5. Ketika tiba di tempat kerja, berhenti sejenak dan tanyakan pada diri sendiri, “Kenapa ini penting?”

Penelitian menunjukkan bahwa makna adalah motivator terbaik. Ketika lo mempertimbangkan pentingnya pekerjaan lo dan dampak potensial, ini dapat membantu lo membedakan proyek mana yang benar-benar sepadan dengan waktu dan energi lo.

6. Luangkan waktu untuk tugas-tugas yang penting dengan memasukkan hal-hal yang paling gak penting ke daftar tugas

Jika ada aktivitas atau ambisi setengah hati dalam hidup lo yang menguras energi dan menjauhkan lo dari hal-hal penting, pertimbangkan untuk melepaskannya. Ketika lo memberi diri lo izin untuk melepaskan hal-hal yang gak terlalu lo pedulikan—entah itu belajar Bahasa Inggris atau belajar memasak—lo akan memiliki lebih banyak waktu dan energi tersisa untuk apa yang benar-benar lo hargai.

7. Setiap hari, habiskan waktu untuk orang yang spesial, bahkan jika lo sibuk

Membantu, mendengarkan, atau sekadar hadir untuk orang lain dapat bermanfaat bagi lo dan siapa pun yang lo bantu. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita menghabiskan waktu untuk orang lain, perasaan kita tentang waktu kita sendiri sebenarnya berkembang dan ketika kita terbiasa bekerja tanpa henti, membuat hubungan yang bermakna dengan orang lain sering kali gagal.

Selain dari beberapa hal yang gue sebutkan sebelumnya, kalau lo merasa bingung apakah lingkungan kerja lo saat ini toxic atau gak dan apakah gaya hidup yang lo jalani toxic atau gak, lo bisa ceritakan keluhan-keluhan yang lo rasakan yang mungkin selama ini hanya lo pendam sendirian kepada tenaga profesional dengan mengikuti layanan konseling bersama Satu Persen.

Masalah-masalah terkait diri dan kehidupan yang sulit terselesaikan dapat dibantu untuk dicari jalan keluarnya dengan konseling ini, lho. Lo bisa klik banner di bawah untuk kepoin dan daftar layanan ini, ya!

CTA-Blog-Post-06-1-20

Selain itu, lo juga bisa coba tonton video YouTube Satu Persen tentang Filosofi Hometown Cha-Cha-Cha di bawah ini, ya!

Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya, selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

Hustle Culture Is Actually Terrible for Our Mental Health. (n.d.). Retrieved November 6, 2021, from https://thriveglobal.com/stories/hustle-culture-constant-work-always-on-mental-health-tips/

Tren Hustle Culture Oleh Hong Du-sik Di Serial ‘Hometown Cha-Cha-Cha’  – Hallo Lifestyle. (n.d.). Retrieved November 6, 2021, from https://lifestyle.hallo.id/tren/pr-1791387762/tren-hustle-culture-oleh-hong-du-sik-di-serial-hometown-cha-cha-cha

Read More
judi

Bahaya Kecanduan Pornografi dan Cara Mengatasinya

Bahaya Kecanduan Pornografi
Satu Persen – Bahaya Kecanduan Pornografi dan Cara Mengatasinya

Halo, Perseners! Gimana kabarnya? Semoga selalu dalam keadaan sehat, ya. Balik lagi sama aku, Fifi, Part-time Blog Writer di Satu Persen.

Perseners, penasaran apa yang termasuk konten pornografi? Pornografi bukan cuma film aja, ya. Bisa juga cerita, komik, atau gambar-gambar yang mengandung unsur-unsur seksualitas.

Sebagai orang yang udah memasuki masa dewasa, mungkin pernah “menikmati” konten dewasa walau cuma sekali. Misalnya, pas nonton film yang memiliki adegan ranjang atau selingan cinta-cintaan dalam novel. Sesekali sih oke, tapi kalo sampai ketagihan buat ngelihat berulang kali, ini dapat menjadi masalah.

Pornografi
Cr. istockphoto.com.

Perseners, tentu pernah denger dong yang namanya kecanduan pornografi. Kecanduan pornografi adalah keinginan untuk melihat konten pornografi secara terus-menerus. Tapi, ini berbeda dengan jenis kecanduan lainnya, seperti kecanduan obat-obatan, game, atau alkohol.

Menurut American Psychiatric Association (APA), kecanduan pornografi tidak termasuk dalam kategori gangguan psikologis karena tidak memenuhi kriteria yang mengarah ke gangguan psikologis. Banyak ahli mengatakan bahwa kecanduan pornografi adalah perilaku yang kompulsif (dorongan tidak tertahankan untuk melakukan sesuatu). Meski bukan gangguan psikologis, menonton pornografi secara intens dapat memengaruhi fungsi otak dan berpotensi menjadi penyebab gangguan psikologis serta efek samping lainnya.

Baca Juga: Tips Lakukan Detoks Sosmed

Dampak Kecanduan Pornografi

Survei yang dilakukan oleh Kinsey Institute menunjukkan seseorang yang menikmati konten pornografi cenderung sulit untuk berhenti. Dengan semakin mudahnya akses konten pornografi seperti saat ini, usaha untuk berhenti juga akan semakin sulit dan membuat seseorang semakin terjebak dengan konten pornografi.

Dampak kecanduan pornografi antara lain:

1. Berdampak pada kondisi otak

Dampak kecanduan pornografi pada otak
Cr. istockphoto.com

Penelitian menunjukkan perbedaan antara otak pecandu pornografi dengan otak orang yang tidak mengalami kecanduan. Hasilnya, terjadi pengecilan atau kerusakan bagian pre- frontal cortex pada otak yang mengalami kecanduan. Pre-frontal cortex merupakan bagian otak yang berfungsi untuk pengambilan keputusan, kontrol diri, dan pemecahan masalah.

2. Memengaruhi keintiman dengan pasangan

Seseorang yang mengalami kecanduan pornografi mungkin memiliki imajinasi seks yang  tidak bisa diperoleh dari pasangannya. Hal ini memengaruhi keintiman dalam hubungan jika mereka merasa sang pasangan tidak bisa memuaskan dirinya. Bahkan, mereka berpotensi mencari pelarian untuk memenuhi dorongan seksualnya.

3. Mengganggu aktivitas sehari-hari

Kecanduan berpotensi membuat seseorang terdorong untuk memenuhi keinginannya dalam menonton konten pornografi. Kebutuhan untuk terus menonton pornografi juga bisa membuat seseorang jadi tidak fokus dan terburu-buru untuk menyelesaikan rutinitasnya. Tentu ini dapat mengganggu kehidupan sosial mau pun pekerjaan mereka.

4. Menyebabkan Gangguan Psikologis

Dorongan yang kuat untuk menonton konten pornografi dapat membuat seseorang merasa harus segera memenuhinya. Jika keinginannya tidak bisa tercapai, biasanya ini akan memunculkan kecemasan. Selain itu, kecanduan ini juga bisa memicu gangguan hiperseksual (kelainan seksual yang membuat seseorang sulit mengontrol dorongan seks) atau mengarah pada penggunaan obat-obatan berbahaya.

Baca juga: Cara Lepas dari Adiksi? (Belajar Berhenti dari Kecanduan)

Cara Mengatasi Kecanduan Pornografi

Cara mengatasi kecanduan pornografi
Cr. Real Simple

Kamu mungkin perlu mempertimbangkan untuk mencari bantuan jika kamu merasa sampai tahap kecanduan nonton konten-konten pornografi. Beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi kecanduan pornografi dapat dilihat sebagai berikut:

1. Konseling dengan Psikolog

Melakukan konseling dengan psikolog bisa jadi satu cara yang efektif untuk keluar dari kecanduan. Ketika konseling, psikolog akan melakukan asesmen untuk melihat perlu tidaknya melakukan terapi. Jika diperlukan, psikolog akan melakukan terapi sesuai dengan kondisimu.

Beberapa terapi yang bisa dilakukan antara lain:

–    Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi CBT ini berfokus pada perubahan pola pikir. Ketika kamu melakukan terapi ini, psikolog akan membantu kamu untuk mengidentifikasi masalah yang kamu hadapi, seperti perasaan, sensasi fisik, dan perilaku yang muncul. Selanjutnya, kamu akan dibantu untuk menganalisa aspek-aspek yang bermasalah dan cara mengubahnya.

–    Terapi Psikodinamik

Terapi ini berfokus pada keyakinan, masa lalu, dan emosi alam bawah sadar yang menyebabkan kamu mengalami kecanduan. Kamu akan dibebaskan untuk menceritakan apa pun masalahmu. Dari sini, kamu bisa menganalisis faktor penyebab kecanduanmu serta solusi apa yang bisa kamu lakukan.

2. Obat-obatan

Selain dengan terapi, bantuan obat-obatan juga bisa diberikan kepada orang yang mengalami kecanduan pornografi. Obat-obatan yang diberikan umumnya bertujuan untuk meningkatkan produksi serotonin pada otak. Dengan meningkatnya serotonin pada otak, ini bisa menekan dorongan seksual.

Namun, pengobatan dengan obat-obatan hanya bisa diresepkan oleh dokter spesialis kejiwaan. Psikolog tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat-obatan kepada pasien. Oleh sebab itu, pastikan pula kamu menerima penanganan dari ahli kesehatan yang tepat.

3. Support Group

Support group
Cr. istockphoto

Support group bisa jadi satu pilihan yang bagus untuk pemulihan kecanduan pornografi. Dengan dukungan dari anggota yang sama-sama mengalami kecanduan, mereka juga bisa saling berbagi cerita dan saling menguatkan. Support group bermanfaat untuk memberi dukungan pada satu sama lain demi mencari solusi. Penelitian menunjukkan bantuan dari kelompok bisa menambah rasa kepercayaan diri dan motivasi untuk berubah.

Terlepas dari banyaknya alternatif untuk mengatasi kecanduan pornografi, hal yang paling utama adalah mengubah pola hidup sehat. Menerapkan pola hidup sehat dengan mencari aktivitas luar ruangan. Pasalnya, ini bisa mengalihkan pikiran dari menonton konten pornografi.

Coba Juga: Tes Sehat Mental

Untuk kamu yang saat ini kesulitan untuk keluar dari kecanduan ini dan butuh bantuan profesional, konseling dengan psikolog Satu Persen mungkin bisa jadi pilihan. Layanan konseling Satu Persen bisa membantu kamu untuk mengatasi masalahmu.

Selain melakukan konseling, kamu juga bisa mendapatkan asesmen untuk mengetahui kondisimu. Dari asesmen ini psikolog bisa melihat perlu tidaknya melakukan terapi untukmu. Kamu tentunya akan dibantu dan dipantau sampai kondisimu membaik.

CTA-Blog-Post-06-1-16

Kalo masih penasaran sama insight seputar kecanduan pornografi, kamu bisa tonton episode Podcast Satu Persen ini juga. Selamat menyimak!

Oke, cukup sekian pembahasan kali ini. Terima kasih banyak buat yang udah baca kontenku sampai habis. Aku, Fifi, pamit undur diri dan selamat menjalani #HidupSeutuhnya.

Referensi:

Kashyap, N. 2020. Pornography Addiction: 5 Treatments That Are Proven To Work. WebMD. https://www.webmd.com/connect-to-care/addiction-treatment-recovery/porn-addiction-treatments

Pietrangelo, A. 2019. Everything You Need To Know About Pornography ‘Addiction’. Healthline. https://www.healthline.com/health/pornography-addiction

Plumptre, E. 2021. Understanding The Effects Of Porn Addiction. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/what-are-the-effects-of-porn-addiction-5203896

Read More